test

News

Kamis, 18 Mei 2023 16:03 WIB

KPK Awasi Celah Korupsi Jelang Pendaftaran Mahasiswa Baru PTN

Editor: Hadi Ismanto

Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan. (Foto: PMJ News/Dok KPK)

PMJ NEWS - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan melakukan pengawasan dalam penerimaan mahasiswa baru di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Hal ini ntuk mencegah terjadinya kembali korupsi di institusi pendidikan.

Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan menyoroti beberapa kasus korupsi dalam penerimaan mahasiswa baru di PTN. Adanya beberapa kasus korupsi menjadi penanda rentannya tata kelola perguruan tinggi di Indonesia.

"Yang kita ingin lakukan, kita bangun tata kelola yang baik ke depannya, kuncinya adalah transparan sehingga kepercayaan publik tinggi dan risiko korupsi bisa kita tekan," ungkap Pahala dalam keterangannya, Kamis (18/5/2023).

KPK berharap pengelolaan perguruan tinggi ke depannya menjadi lebih baik karena sumber dayanya berpotensi masuk dunia kerja yang rentan terjadi penyuapan serta gratifikasi. Oleh karena itu, penting untuk mencegah korupsi di sektor pendidikan.

Dia menyebut pada September-Desember 2022, KPK melakukan kajian dengan mengambil tujuh sampel PTN dari Kemendikbud Ristek dan enam PTN dari Kemenag. Lebih lanjut, dilakukan pula pendalaman dengan 6 sampel PTN pada bulan Maret 2023.

"KPK memfokuskan kajian pada penerimaan mahasiswa baru tahun 2020-2022 dalam program studi S1 Fakultas Kedokteran, Teknik, dan EKonomi," tuturnya.

Dari hasil kajian ditemukan beberapa permasalahan. Pertama, adanya ketidakpatuhan PTN terhadap kuota penerimaan mahasiswa khususnya jalur mandiri. Kedua, mahasiswa yang diterima pada jalur mandiri tidak sesuai dengan kriteria, ranking atau kriteria lain.

Ketiga, praktik penentuan kelulusan sentralistik oleh seorang rektor cenderung tidak akuntabel. Keempat, besarnya Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) sebagai penentu kelulusan.

Kelima, tidak transparan dan akuntabelnya praktik alokasi bina lingkungan dalam penerimaan mahasiswa baru. Keenam, adanya ketidakvalidan Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, sehingga tidak dapat digunakan sebagai alat pengawasan.

"Kami masih menemukan adanya disparitas praktik antar-perguruan tinggi yang kita nilai bahaya. Kita masih menemukan juga rektor penentu tunggal afirmasi," tukasnya.

BERITA TERKAIT