test

Suara Pemilu

Selasa, 1 September 2020 18:52 WIB

Bawaslu Soroti Soal Mahar Politik di Pilkada 2020

Editor: Hadi Ismanto

Anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo (Foto: PMJ News/Bawaslu RI)

PMJ - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menyoroti secara khusus soal mahar politik. Hal ini dinilai menjadi salah satu titik rawan potensi pelanggaran dalam pelaksanaan tahapan pencalonan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020.

Anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo mengatakan, praktik mahar politik kerap dilakukan bakal calon kepala daerah dengan memberikan imbalan kepada partai politik (Parpol) untuk mendapatkan rekomendasi pencalonan.

"Saya kira potensi ini masih ada sampai pada injury time, tanggal terakhir pendaftaran calon. Saya kira potensi ini akan semakin besar ketika hari-hari terakhir pendaftaran pasangan calon," ungkap Ratna Dewi dalam rapat koordinasi pengawasan pencalonan Pilkada 2020, Selasa (1/9/2020).

Anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo (Foto: PMJ News/Bawaslu RI)

Menurut dia, bakal calon akan berusaha keras agar mendapatkan parpol sebagai 'kendaraan' maju dalam kontestasi pilkada. Baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Upaya itu membuat bakal calon kepala daerah melakukan praktik mahar politik.

Padahal, lanjut dia, larangan praktik mahar politik secara eksplisit sudah diatur dalam Pasal 47 ayat 1 dan ayat 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Namun, tidak mudah bagi Bawaslu melakukan proses pembuktian pelanggaran tersebut.

"Pertama soal keterbatasan waktu tiga plus dua (hari), waktu yang sangat singkat ini tentu tidak mudah proses pembuktian dalam penanganan pelanggaran mahar politik," katanya.

Kedua, Bawaslu dalam melakukan proses penanganan pelanggaran mahar politik adalah laporan yang kadaluwarsa sesuai peraturan perundang-undangan. Mahar politik kerap terjadi di ruang-ruang tertutup dan melibatkan pihak-pihak yang saling membutuhkan.

Kendala ketiga terkait pelapor yang umumnya merupakan pemberi, karena merasa dirugikan dalam praktik mahar politik mengurungkan niat melaporkan pelanggaran tersebut. Sebab, mereka juga takut saat penjatuhan sanksi dalam UU Pilkada berlaku juga bagi pemberi dan penerima.

Terakhir, pilkada yang digelar dalam kondisi pandemi Covid-19 membuat penanganan pelanggaran menjadi terbatas. Pembatasan fisik menjadi tantangan Bawaslu dalam proses pemeriksaan kasus.

"Tetapi terhadap hal ini tentu Bawaslu akan mencari langkah-langkah strategis agar kemudian transaksi mahar politik ini sekalipun akan sulit tetap bisa kita proses," tukasnya.(Hdi)

BERITA TERKAIT