test

Fokus

Kamis, 20 Agustus 2020 08:08 WIB

Memaknai Hakikat Umur Kita

Editor: Ferro Maulana

Perayaan Tahun Baru Islam (Foto: PMJ/ Dok Net)

PMJ - Ada pemandangan yang hampir selalu kita temui setiap momen pergantian tahun. Yaitu, banyak orang-orang larut dalam suka cita hingga kadang merasa perlu untuk merayakannya dengan kegiatan-kegiatan khusus.

Tahun baru seolah menjadi saat-saat yang paling dinanti. Di detik-detik pergantiannya pun nyaris tiap orang rela berjaga, lalu meluapkan rasa bahagia dengan aneka petasan, kembang api, atau sejenisnya, ketika saat-saat yang ditunggu itu tiba. Bahagia terhadap momen-momen tertentu merupakan sesuatu yang sangat manusiawi. Begitu pula dalam momen pergantian tahun baru Islam.

Waktu Adalah Anugerah

Manusia menerima kesempatan di dunia untuk mencapai tujuan-tujuan akhirat. Sebagaimana Islam ajarkan bahwa kehidupan dunia adalah ladang yang mesti digarap serius untuk masa panen di akhirat kelak. Karena itu sifat waktu dunia adalah sementara, sedangkan sifat waktu di akhirat adalah kekal abadi.

Islam mengutamakan kehidupan akhirat di atas kehidupan dunia. Dua kehidupan tersebut dikontraskan sebagai dua jenis waktu yang sejati dan tidak sejati. Alquran melukiskan kehidupan dunia dengan istilah “tempat permainan” belaka.

Renungan Tahun Baru Islam. (Foto: PMJ/ Dok Net)

Kalimat “kehidupan dunia ini merupakan senda gurau dan main-main” bukan berarti kita dianjurkan untuk berbuat seenaknya di dunia ini layaknya sebuah permainan.

Hal ini menggambarkan bahwa kehidupan dunia ini tidak sejati, tidak kekal, dan penuh dengan tipuan. Karena itu, maknanya justru seseorang harus lebih banyak mencurahkan perhatian kepada kehidupan akhirat.

Lantas apa yang harus dilakukan agar kesempatan hidup di dunia berkualitas?

Alquran telah memberikan garis bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah untuk mengabdi secara total kepada Allah SWT.

????? ???????? ???????? ??????????? ?????? ?????????????

Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyat: 56)

Allah tidak menciptakan jin dan manusia untuk suatu manfaat yang kembali kepada Allah SWT. Mereka diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Dan ibadah itu sangat bermanfaat untuk diri mereka sendiri.

Pengertian ibadah itu pun sangat luas, tak sekadar ritual kepada Allah SWT (seperti salat, puasa, haji, atau sejenisnya) melainkan meliputi pula kebaikan-kebaikan yang membawa kemaslahatan bagi orang lain.

Memanfaatkan umur di dunia ini menjadi sangat penting karena waktu terus berjalan, dan tak akan bisa terulang kembali. Manusia dituntut untuk memaksimalkan waktu atau kesempatan yang diberikan untuk perbuatan-perbuatan bermutu, sehingga tak menyesal di kehidupan kelak.

Orang-orang yang menyesal di akhirat digambarkan oleh Alquran merengek-rengek minta kembali agar bisa memperbaiki perilakunya.     

 ??????? ????? ????? ?????????? ????????? ????? ????? ?????????? ? ???????? ???????? ???????? ?????? ???????? ? ?????? ? ???????? ???????? ???? ?????????? ? ?????? ??????????? ???????? ?????? ?????? ???????????

Artinya: “(Demikianlah keadaan orang-orang yang durhaka itu) hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan.” (QS Al-Mu’minun: 99-100)      

Kerugian Besar

Imam Al-Ghazali mengatakan, ketika seseorang disibukkan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat dalam kehidupannya di dunia, maka sesungguhnya ia sedang menghampiri suatu kerugian yang besar.

Sebagaimana yang ia nyatakan—dengan mengutip hadits—dalam kitab Ayyuhal Walad:   ????????? ????????? ????? ???????? ???? ?????????? ???????????? ????? ??? ?????????? ?? ???? ??????? ???????? ??????? ???? ????????? ?? ????? ??? ?????? ???? ???? ????????????? ????????? ???? ??????? ???????? ??????????

Artinya: "Pertanda bahwa Allah ta'ala sedang berpaling dari hamba adalah disibukkannya hamba tersebut dengan hal-hal yang tak berfaedah. Dan satu saat saja yang seseorang menghabiskannya tanpa ibadah, maka sudah pantas ia menerima kerugian berkepanjangan.”

Dari penjelasan ini, kita patut memikirkan ulang tentang hakikat perayaan tahun baru Islam. Momen tahunan ini seyogianya disikapi secara wajar dan tepat. Kebahagiaan terhadap tahun baru semestinya diarahkan kepada rasa syukur terhadap masih tersisanya usia, bukan uforia kebanggaan atas tahun baru itu sendiri.

Instropeksi Diri

Sisa usia itu merupakan kesempatan untuk menambal kekurangan, memperbaiki yang belum sempurna, dari perilaku hidup kita di dunia. Tahun baru lebih tepat menjadi momen muhasabah (introspeksi) dan ishlah (perbaikan).

Sebuah kata-kata Syekh Ahmad ibn Atha'illah as-Sakandari dalam al-Hikam ini patut menjadi renungan:   ????? ?????? ?????????? ??????? ????????? ?????????? ??????? ?????? ???????? ??????? ???????? ?????????.

"Kadang umur berlangsung panjang namun manfaat kurang. Kadang pula umur berlangsung pendek namun manfaat melimpah."

Semoga kita menjadi pribadi yang orang-orang yang mampu menunaikan sisa usia kita dengan sebijak-bijaknya, dan terhindar dari perbuatan dan perkataan yang sia-sia. (Sumber: Nahdlatul Ulama/ Fer).

BERITA TERKAIT