test

Fokus

Minggu, 4 Oktober 2020 12:15 WIB

Polemik Obat Covid-19 yang Mahal, Solusi Atau Cari Untung?

Editor: Ferro Maulana

Obat Covid-19 jenis remdesivir seharga Rp1,5 juta per dosis. (Foto: PMJ News/Dok Net)

PMJ - Pemerintah memutuskan siap mendistribusikan remdesivir untuk menangani pasien Covid-19 di Indonesia. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pun telah memberikan izin kepada PT Kalbe Farma Tbk yang bakal menjual dengan merek Covifor. Namun dengan harga jual yang mahal, obat Covid-19 ini menjadi kontroversi di tengah masyarakat.

Izin distribusi BPOM atas Covifor (Remdesivir) Injection berupa otorisasi penggunaan darurat alias emergency use authorization . Hal ini berarti obat antivirus ini hanya akan didistribusikan kepada rumah sakit saja, tidak ke instansi lain, termasuk tidak dijual di apotek untuk pasar ritel.

Obat Anti Virus yang Memantik Pertanyaan

Obat antivirus remdesivir bakal dipakai untuk pasien Covid-19. Walaupun, keampuhan remdesivir dalam mengobati pasien virus Covid-19 masih memantik banyak tanya.

Alasannya, menurut Dokter Sugeng Ibrahim M.Biomed, Remdesivir merupakan obat antivirus untuk mencegah keparahan, bukan membunuh atau memecah envelope virus corona, bukan pula obat untuk mengobati cytokine storm atau badai radang yang merusak paru.

Remdesivir juga sudah tersedia sejak lama, antivirus ini sudah digunakan untuk mengatasi pandemi ebola beberapa tahun lalu.

Unair Surabaya akan menyelesaikan penelitian obat untuk penanganan pasien Covid-19 (Foto: PMJ News/Dok Net)

Sugeng mengungkapkan, remdesivir yang tengah dibicarakan banyak orang saat ini sejatinya juga sudah habis masa patennya.

Dengan harga jual di kisaran Rp 3 juta per vial/ dosis, sejatinya “Obat anti virus ini hanya menghambat repliksi dari virus corona,” ujarnya menambahkan.


Dengan harga obat Rp 3 juta dengan kebutuhan 2 kali sehari, maka seminggu biaya pasien corona dengan obat antivirus remsedivir jenis covifor akan menghabiskan dana Rp42 juta per minggu.

Kemenangan Kapitalisme

Kebijakan yang keliru yang dikeluarkan pemerintah dimana orang kaya selalu diuntungkan, juga dirasakan oleh dosen senior dari Universitas Stanford, Francis Fukuyama.

Pencarian obat Covid-19. (Foto: PMJ News/Ilustrasi/Fif)

Fukuyama diakui pemikirannya setelah menulis buku The End of History and the Last Man pada tahun 1992. Di sana ditegaskan bahwa sejarah perkembangan ideologi-politik umat manusia akan berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal.

Fukuyama melihat terdapat konsensus luar biasa berkenaan dengan legitimasi demokrasi liberal sebagai sistem pemerintahan telah muncul di seluruh dunia, setelah sistem ini mengalahkan ideologi-ideologi pesaingnya, seperti monarki, fasisme, dan komunisme.

Namun demikian, sejak memasuki abad 21, Fukuyama mulai mempertanyakan tesisnya atas demokrasi liberal. Dalam tulisannya di America in Decay: The Sources of Political Dysfunction (2014), misalnya, Fukuyama memperkenalkan istilah vetocracy (vetokrasi), yakni terjadinya disfungsi tata kelola pemerintahan di Amerika Serikat (AS) yang membuat lembaga politik yang ada tidak dapat membuat kebijakan secara efektif dan didominasi oleh keinginan kelompok-kelompok kaya.

Meskipun dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment (2018), Fukuyama kembali menyinggung sulitnya mewujudkan negara demokrasi liberal modern seperti yang dibayangkannya, sama seperti kontroversi mahalnya obat Covid-19, Fukuyama tetap memiliki harapan bahwa di akhir sejarah, demokrasi liberal tetap menjadi pemenang.

Dapatkan Keuntungan

Kritik terhadap mahalnya obat Covid-19 dapat kita pahami lebih dalam melalui konsep skin in the game yang diperkenalkan oleh Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya Skin in the Game: Hidden Asymmetries in Daily Life.

Pembuatan obat Covid-19 Covifor. (Foto: PMJ/ Dok Net)

Menurut Taleb, skin in the game yaitu pilar utama yang menopang berfungsinya sistem, baik di sistem manusia maupun di alam, agar suatu sistem tetap berjalan dengan baik.

Skin in the game yakni hubungan simetris yang mengatur keseimbangan antara insentif dan disinsentif. Hal ini merupakan mekanisme atau sistem kolektif yang mengatur hal positif akan mendapatkan isentif (keuntungan), dan hal negatif akan mendapatkan disinsentif (kerugian).

Penggunaan kata skin merujuk pada setiap aktor yang terlibat dalam suatu sistem yang disebut sebagai game. Pada prinsipnya, game yang baik akan terjadi apabila setiap aktor (skin) yang terlibat memiliki kesempatan yang sama untuk menerima risiko dari game yang terjadi.

Misalnya, jika Naruto melakukan investasi, maka Naruto dapat menerima dampak investasi, baik mendapatkan keuntungan ataupun mendapatkan kerugian.

Meski begitu, menurut Taleb sering kali skin in the game tidak terjadi karena terdapat aktor-aktor yang justru tidak mendapatkan risiko dari game yang dimainkan.

Taleb misalnya mencontohkan seorang pengajar teori evolusi yang mendidik muridnya agar memahami dan percaya pada teori tersebut. Akan tetapi, sang pengajar justru tidak percaya pada teori evolusi yang diajarkannya.

Tenaga medis tengah melakukan test Covid-19 (Foto: PMJ News)

Skin in the game seharusnya menjadi prinsip yang harus ditekankan, khususnya pada pembuatan kebijakan publik agar sang pembuat kebijakan tidak membuat kebijakan yang keliru.

Alasannya, dalam kenyataannya, karena pembuat kebijakan merasa tidak dirugikan oleh kebijakan yang dibuatnya, kebijakan yang merugikan masyarakat kemudian terlahirkan.

Pada konteks pandemi Covid-19, seperti hadirnya kontroversi mahalnya obat Covid-19, para pemangku kebijakan publik yang tidak mengetahui realita di lapangan sering kali membuat kebijakan yang tidak tepat karena apa pun yang terjadi status quo mereka terlindungi.

Belum Ada Obat yang Terbukti

Keampuhan remdesivir dalam mengobati pasien virus corona juga masih dipertanyakan. Guru Besar pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam mengatakan remdesivir belum terbukti sebagai antivirus dan perlu pengujian untuk dianggap sebagai obat penderita Covid-19.

Ari menegaskan, saat ini belum ada obat yang terbukti dapat mengobati pasien Covid-19. Para peneliti di dunia masih berjibaku meneliti pengobatan yang tepat untuk Covid-19.

"Semuanya dalam tahap riset baik obat tunggal dan kombinasi, kita semua masih menunggu," ungkapnya.

Penelitian obat dan vaksin covid-19. (Foto: Dok Net)

Remdesivir ini sudah terlebih dulu digunakan untuk pengobatan pasien Covid-19 di Amerika Serikat. Food and Drug Administration US (FDA atau BPOM) telah mengizinkan penggunaan remdesivir pada pasien dengan gejala sedang dan berat mulai Mei lalu.

Penggunaan remdesivir setelah data menunjukan bahwa penggunaan antivirus ini dapat mempersingkat waktu pemulihan pasien menjadi rata-rata 11 hari. Pada Agustus lalu, FDA pun menerbitkan izin penggunaan remdesivir untuk pasien rawat inap yang tidak membutuhkan bantuan oksigen.

Efektivitas Obat yang Meragukan

Washington Post melaporkan, walaupun FDA telah memberikan izin penggunaan remdesivir, namun dokter dan peneliti masih mempertanyakan efektivitas obat tersebut. Untuk kasus di Amerika, tingkat kematian tak berkurang secara signifikan meski menggunakan remdesivir. Saat ini jumlah kematian di AS sebanyak 211 ribu orang.

Yang juga menjadi sorotan yaitu harga jual obat yang sangat tinggi. Gilead Sciences Inc, produsen remdesivir di AS, membanderol 2.340 dolar AS atau sekitar Rp 33 juta untuk pengobatan selama lima hari.

Relawan uji klinis vaksin Covid-19 terus bertambah (Foto: PMJ News/Dok Net)

“Obat tersebut mempunyai beberapa manfaat, tetapi tidak jelas seberapa besar manfaatnya. Setiap orang menunggu data kematian yang lebih baik. Penetapan harga obat yang besar, ternyata tidak berdampak besar,” tutur Walid Gellad yang merupakan dokter di University of Pittsburgh Department of Medicine, dikutip dari Washington Post.

RS AS Menolak

Mahalnya obat Covid-19 menjadikan beberapa rumah sakit di AS menolak sepertiga pasokan yang dialokasikan untuk belanja obat remdesivir. Alasannya, obat ini dianggap terlalu mahal untuk digunakan pada pasien tahap sedang.

“Saya tidak terlalu terkesan dengan penelitian ini dan skeptis pada penggunaan remdesivir untuk pasien Covid-19 di tahap sedang, terutama mengingat harganya,” keluh Adarsh Bhimraj selaku spesialis penyakit menular di Cleveland, dilansir dari Reuters.

Berdasarkan keterangan pada situs Departemen Kesehatan AS (NIH), remdesivir berperan untuk menghambat replikasi virus. Departemen Kesehatan AS merekomendasikan penggunaan remdesivir untuk pasien Covid-19 tahap berat selama lima hari atau sampai pasien ke luar dari rumah sakit.

Apabila tidak terdapat perbaikan klinis dalam jangka waktu tersebut, maka beberapa ahli menyarankan untuk memperpanjang durasi penggunaan obat hingga 10 hari.

Pemberian remdesivir di Indonesia masih akan diujicobakan kepada 25 pasien Covid-19 di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta. Pasien akan diberi antivirus melalui infus sebanyak 200 mg pada hari pertama.

Semua negara terus mengembangkan vaksin Covid-19 (Foto: PMJ News/Dok Net)

"Hari berikutnya, bisa 5 sampai 10 hari ke depan (diberi remdesivir) sebanyak 100 mg saja," tutur Erlina Burhan, konsultan dokter Gugus Tugas Covid-19 yang merupakan dokter spesial paru-paru.

Adapun, 25 pasien yang akan diujicobakan ini harus berusia di atas 18 tahun dan menderita Covid-29 dengan kategori berat yang artinya saturasi oksigennya di bawah 94%. Kemudian, kriteria lainnya adalah pasien yang sedang menjalani ventilator mekanik.

Ia menjelaskan, remdesivir adalah antivirus dengan cara kerja menghambat replikasi virus. "Mudah-mudahan kalau masuk remdesivir, replikasi virus dihambat sehingga tidak terjadi keparahan yang lebih lagi. Kemudian sistem imun akan bisa mengendalikan," ujar Erlina.

Cara mencegah penularan Covid-19 paling ampuh sampai saat ini adalah dengan menjaga jarak, memakai masker, dan rutin mencuci tangan. Ketiganya penting untuk dilaksanakan sambil menunggu vaksin.

Tanggapan Bos Kalbe Farma

Harga obat Covid-19 yang dikeluarkan Kalbe Farma menuai beragam komentar. Pihak Ikatan Dokter Indonesia (IDI) beranggapan harga obat yang dipatok sebesar Rp3 juta per dosis itu tergolong mahal. Presiden Direktur (Presdir) Kalbe Farma, Vidjongtius menanggapi kritikan tersebut. Begini penjelasannya.

Presiden Direktur (Presdir) Kalbe Farma, Vidjongtius. (Foto: PMJ/ Dok Net).

Vidjongtius mengungkapkan penetapan harga obat Covifor turut mempertimbangkan volume impor. Yang mana produksi obat anti Corona tersebut masih diproduksi oleh perusahaan farmasi multinasional asal India, yakni Hetero.

“Produk Covifor saat ini masih diimpor oleh PT Amarox dan faktor harga selalu berbanding lurus dengan jumlah unit atau volume yang ada,” bebernya kepada wartawan.

Menurut Vidjongtius, saat ini volume impor Covifor pada tahap awal masih tergolong rendah. Jadi dampaknya, harga jual obat Covid-19 itu menjadi mahal per dosisnya.

“Jumlah unit atau volume yang ada saat ini di tahap awal volume masih kecil. Sehingga ada penyesuaian (harga),” tuturnya.

Tetapi, Vidjongtius menyakinkan bahwa ke depannya harga Covifor bisa semakin terjangkau oleh masyarakat.

“Setelah skala volume bertambah maka harga tersebut akan bisa lebih rendah,” tandas Bos Kalbe tersebut. (Dbs/ Washington Post/ AFP/ Fer)

BERITA TERKAIT