Sabtu, 9 Januari 2021 11:42 WIB
Hukuman Kebiri Kimia untuk 'Predator' Seksual Anak
Editor: Ferro Maulana
PMJ NEWS - Presiden RI Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak yang menjadi aturan pelaksana pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Peraturan tersebut merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Wacana pemberian pemberatan hukuman berupa kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual mulai mencuat setelah sejumlah kasus kekerasan seksual yang menyasar anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, menjadi pemberitaan di berbagai media.
Satu pelaku tidak hanya menyasar satu anak sebagai korban, tetapi bisa beberapa anak sekaligus. Perilaku seksual kepada anak yang disertai kekerasan itu selanjutnya memunculkan istilah "predator anak" untuk menyebut pelaku kejahatan seksual yang mengincar anak di bawah umur.
Menelisik ke belakang pada 2016, wacana pemberatan hukuman berupa kebiri kimia akhirnya diwujudkan pemerintah dengan mengambil "jalan pintas" berupa penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebenarnya juga belum lama diubah melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Revisi undang-undang melalui DPR dinilai memerlukan proses yang panjang sehingga Presiden Joko Widodo memilih mengambil jalan pintas dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU).
Dukungan atas pemberatan hukuman bisa memberikan efek jera sekaligus mencegah kekerasan seksual kembali menyasar anak-anak.
Kepastian Hukum
Kepala Kantor Staf Kepresiden Moeldoko mengatakan, peraturan pemerintah ini adalah usaha pemerintah "merespon kegelisahan publik", baik di Indonesia dan di negara-negara lain.
Moeldoko melanjutkan, PP yang mengatur kebiri ini telah memberikan kepastian serta langkah yang lebih konkret terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak.
PP tersebut merupakan arahan bagi pelaksanaan UU Perlindungan Anak yang telah diubah dengan memasukkan hukuman kebiri kimia tahun 2016.
Adapun Kebiri Kimia yaitu pemberian zat kimia berupa obat anafrodisiak yang menekan hasrat seksual laki-laki dengan menurunkan kadar testosteron melalui penyuntikan atau metode lain.
Misalnya, obat Lupron, yang digunakan untuk mengobati kanker prostat pada pria dengan cara menekan produksi testosteron di testis.
Para pelaku yang bisa dikenakan hukuman tambahan kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi ini diatur dalam Pasal 81 ayat (7) Undang-Undang yang diamandemen dan Peraturan Pemerintah No.70 Tahun 2020 Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 dan Bab 2 Pasal 2 Ayat 1 dan 2.
Hukuman kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik juga mengancam pelaku yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, serta pelaku tindak pidana tadi menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia.
Tetapi, ada pengecualian untuk semua kategori di atas. Sesuai bunyi Pasal 4 PP No.70 Tahun 2020, "pelaku Anak tidak dapat dikenakan Tindakan Kebiri Kimia dan tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik."
Pengertian Kebiri Kimia
Tindakan kebiri kimia adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain yang dilakukan kepada pelaku persetubuhan yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Tindakan kebiri kimia dikenakan apabila pelaku melakukan kekerasan seksual terhadap lebih dari satu orang korban, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia.
Pelaku tidak semata-mata disuntikkan kebiri kimia, namun juga harus disertai rehabilitasi untuk menekan hasrat seksual berlebih pelaku dan agar perilaku penyimpangan seksual pelaku dapat dihilangkan.
Rehabilitasi yang diberikan kepada pelaku yang dikenakan tindakan kebiri kimia berupa rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medik.
Kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi, dan pengumuman identitas merupakan hukuman tambahan yang dapat dikenakan kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Menurut peraturan pemerintah tersebut, tindakan kebiri kimia disertai rehabilitasi hanya dikenakan kepada pelaku persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sedangkan pemasangan alat pendeteksi elektronik dan pengumuman identitas dilakukan kepada pelaku persetubuhan maupun pelaku perbuatan cabul.
Kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik dikenakan untuk jangka waktu paling lama dua tahun dan setelah terpidana menjalani pidana pokok. Kebiri kimia dapat dilakukan bila kesimpulan penilaian klinis menyatakan pelaku persetubuhan layak dikenakan tindakan kebiri kimia.
Tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi akan dilakukan petugas yang memiliki kompetensi di bidangnya atas perintah jaksa.
Pemasangan alat pendeteksi elektronik dilakukan agar pelaku tidak melarikan diri dan pengumuman identitas dilakukan selama satu bulan kalender melalui papan pengumuman, laman resmi kejaksaan, media cetak, media elektronik, dan/atau media sosial yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Peraturan tentang Kebiri Kimia juga mengamanahkan Kementerian Kesehatan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Kementerian Sosial untuk menyusun peraturan menteri yang berisi tata cara dan prosedur teknis pelaksanaan tindakan kimia kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi, dan pengumuman identitas pelaku.
Dosis dan Dampak Pemberian Kebiri Kimiawi untuk Pelaku
Kebiri kimiawi dilakukan dengan cara memberikan obat-obatan secara bertahap. Pada umumnya, dalam bentuk suntik, kepada pelaku kekerasan seksual anak dengan tujuan mengurangi hasrat seksualnya.
Obat-obatan itu bekerja dengan cara menurunkan kadar hormon testosteron, yaitu hormon yang berperan dalam menghasilkan libido atau hasrat seksual.
Ada beberapa jenis obat-obatan yang dapat digunakan untuk menekan produksi hormon testosteron dalam kebiri kimia, yaitu:
1. Agonis LHRH (Luteinizing hormone-releasing hormone). Agonis LHRH digunakan untuk menurunkan testosteron yang diproduksi oleh testis.
Seiring berjalannya waktu, obat ini akan membuat testis menyusut dan bahkan membuat ukurannya menjadi sangat kecil.
Ketika agonis LHRH pertama kali diberikan, kadar testosteron akan naik untuk sementara sebelum akhirnya turun ke level yang sangat rendah.
Obat agonis LHRH diterapkan dengan cara disuntik atau ditempatkan sebagai implan kecil di bawah kulit.
Beberapa contoh obat golongan agonis LHRH adalah leuprolide, goserelin, dan triptorelin.
2. Antagonis LHRH. Obat ini bekerja secara langsung dengan menurunkan kadar hormon testosteron lebih cepat.
Contoh obat jenis ini adalah degarelix yang biasanya diberikan sebulan sekali dengan cara disuntik atau relugolix yang berupa pil untuk diminum sehari sekali.
3. Medroxyprogesterone acetate (MPA). Obat ini merupakan salah satu jenis kontrasepsi hormonal yang dapat digunakan oleh wanita.
Jika diberikan kepada pria, MPA dapat merangsang testis untuk berhenti menghasilkan testosteron sehingga jumlah hormon ini akan berkurang. Hal tersebut akan membuat libido pada pria menurun drastis.
Sedangkan dampak kebiri kimia bagi kesehatan pria yaitu menurunnya kadar testosteron dalam tubuh pria yang menjalani kebiri kimiawi, tentu tak lepas dari dampaknya bagi kesehatan.
Di bawah ini adalah beberapa dampak dari kebiri kimia bagi kesehatan:
1. Dampak fisik
Hormon testosteron merupakan hormon seks utama pada pria. Hormon ini berperan penting dalam meningkatkan massa otot hingga pertumbuhan rambut tubuh, khususnya pada masa pubertas.
Ketika jumlah hormon testosteronnya berkurang, seorang pria bisa mengalami beberapa efek fisik.
Antara lain, peningkatan jaringan lemak dan kolesterol. Penurunan massa otot
Tulang menjadi rapuh atau keropos
Kebotakan atau berkurangnya rambut di tubuh.
Bengkak atau nyeri di jaringan payudara
Disfungsi ereksi. Selain itu, rendahnya hormon testosteron karena kebiri kimiawi ini akan diiringi penurunan energi yang dapat menyebabkan tubuh mudah lelah, serta perubahan pola tidur dan gangguan tidur, seperti insomnia.
2. Dampak psikologis
Tak hanya dampak fisik, kebiri kimia juga dapat memengaruhi pria secara psikologis. Beberapa riset menunjukkan bahwa pria dengan jumlah hormon testosteron yang rendah lebih berisiko mengalami depresi dan gangguan cemas, berkurangnya memori, dan sulit berkonsentrasi.
Kebiri kimia dilakukan untuk mencegah tindakan berulang dari pelaku kejahatan seksual karena dapat menurunkan gairah seksualnya. Meski demikian, psikoterapi dan pengawasan lebih lanjut tetap perlu dilakukan setelah pelaku selesai menjalani kebiri kimiawi.
Kemudian, peran lingkungan sekitar juga sangat diperlukan. Orang tua dan anggota keluarga perlu memberikan pemahaman seputar pendidikan seks pada anak untuk meminimalkan risiko terjadinya tindak pelecehan dan kekerasan seksual di kemudian hari.
Bagian dari Rehabilitasi
Pemerhati anak dan Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi (atau Kak Seto) menerangkan tindakan kebiri kimia sebagai hukuman tambahan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak harus dipandang sebagai bagian dari rehabilitasi.
"Perlu diyakini tindakan kebiri kimia adalah untuk mencegah pelaku melakukan kejahatan yang sama. Itu justru bagian dari rehabilitasi, sebuah bentuk pengobatan," tutur Kak Seto.
Lebih jauh Kak Seto memaparkan tindakan kebiri kimia memiliki jangka waktu tertentu serta tidak mematikan dorongan seksual sama sekali.
Adapun tindakan kebiri kimia berhubungan dengan masalah psikologis agar pelaku kekerasan seksual terhadap anak tidak kembali melakukan kejahatan yang sama.
Tindakan kebiri kimia kepada pelaku kejahatan seksual kepada anak harus dipandang bukan semata-mata sebagai hukuman, yaitu membalas kejahatan dengan melakukan kejahatan.
Karena itu, Kak Seto menyambut baik keputusan pemerintah menerbitkan aturan pelaksana tindakan kebiri kimia tersebut.
Menurut dia, aturan pelaksana tersebut sangat ditunggu-tunggu para pegiat pelindungan anak dan anak seluruh Indonesia.
Tetapi, menurutnya, di sisi lain keluarnya aturan tersebut tidak boleh membuat masyarakat, terutama orang tua, menjadi lengah.
Kemungkinan kekerasan seksual menyasar anak-anak masih bisa terjadi sehingga masyarakat harus tetap waspada.
Kado Awal dan Terindah
Pemerintah sudah mengeluarkan peraturan untuk menjatuhkan hukuman kebiri kepada pelaku kekerasan seksual anak. Kabar ini disambut baik Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA).
Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait mengatakan, pihaknya mendukung pemberian hukuman kebiri kepada pelaku kekerasan terhadap anak maupun tindakan seksual kepada anak.
Selama ini, penegak hukum memberikan hukuman kepada pelaku kekerasan dan seksual kepada anak.
"Sejak Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 yang menempatkan bahwa predator kejahatan seksual layak dihukum maksimal 20 tahun dan hukuman pemberatan, pelaksanaannya kan ditunggu-tunggu sejak 2016 tetapi belum dilaksanakan," ungkap Arist, dalam pernyataan tertulisnya.
Lebih jauh Arist memaparkan, aturan hukuman kebiri ini menjadi kado terindah untuk anak-anak korban kekerasan dan seksual pada awal 2021.
Dengan lahirnya PP Nomor 70 Tahun 2020, per 7 Desember 2020, dia menilai, dapat menjadi alat untuk mengeksekusi ketika putusan pengadilan menambahkan hukuman pemberatan melalui zat kimia.
"Jadi ini hadiah untuk anak Indonesia memasuki 2021, dengan latar belakang meningkatnya kejahatan seksual anak yang selama ini banyak sekali predator ini lepas dari hukuman seperti itu," tutur Arist.
"Karena itu saya kira dengan angka 52 persen kejahatan terhadap anak itu didominasi oleh kejahatan seksual," pungkasnya.
Bukti Komitmen Pemerintah
Terpisah, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menanggapi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 yang mengatur pengebirian pelaku kekerasan seksual terhadap anak merupakan bukti komitmen pemerintah memberantas kejahatan seksual terhadap anak.
PP Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
"PP tersebut menunjukkan komitmen penuh pemerintah atas pemberantasan kejahatan seksual terhadap anak yang kasusnya kian hari kian memprihatinkan," ujar Sahroni di Jakarta, baru-baru ini.
Sahroni pun mendukung kebijakan pemerintah tersebut karena memang kondisi sudah mendesak terkait dengan kasus kejahatan dan kekerasan seksual terhadap anak.
Dirinya melampirkan data kepolisian, misalnya di Jakarta Barat, angka kekerasan pada anak meningkat 48 persen pada tahun 2020 dari data pada tahun sebelumnya.
"Ini bahaya sekali. Saya nilai saat ini sudah ada teknologi kebiri kimia, bukan kebiri yang beneran dipotong kelamin seperti dahulu," tutupnya. (Dari Berbagai Sumber/ Setkab).