test

Suara Pemilu

Senin, 24 Februari 2020 18:43 WIB

Menkopolhukam: Praktek Politik Uang Masih Terjadi Dalam Pilkada Serentak

Editor: Ferro Maulana

Menko Polhukam, Mahfud MD. (Foto: Dok Net)

PMJ - Menkopolhukam Mahfud MD menjelaskan bahwa berbagai praktek politik uang (money politic) masih terjadi dalam Pilkada Serentak 2020 mendatang. Menurutnya, politik uang mulai terjadi sejak zaman Orde Baru, dimana politik uang berlangsung di DPRD.

"Kalau dulu money politic dalam pemilihan kepala daerah itu ada di DPRD, sekarang berpindah ke pimpinan partai," ungkap Mahfud, dalam Workshop Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKSI), Senin (24/02/ 2020).

Masih dari penuturan Mahfud, di zaman Orba kekuasaan DPRD dianggap buruk karena diberi kekuasaan untuk memilih kepala daerah. Dengan kekuasaan tersebut, sering terjadi praktek politik uang untuk memilih kepala daerah.

Lanjut Mahfud, politik uang pernah terjadi di Pilkada Yogyakarta dan Jawa Timur pada zaman Orba. Saat itu, anggota DPRD diberi uang untuk meloloskan kepala daerah.

"Mulai di daerah saya di Yogyakarta. Kepala Daerah mau pemilihan, anggota DPRD-nya 45, sebanyak 23 orang dikarantina, dibayar kamu harus pilih ini. Di Jawa Timur sana di mana terjadi,” ujarnya.

“Jadi kemungkinan ya kepala daerah lalu terjadi jual beli pada waktu itu dan itu menjadi bahasan sehari-hari. Kalau begitu kebablasan DPRD yang zaman orde baru itu. Sekarang diperkuat menjadi legislatif menjadi tulang punggung, sekarang menjadi alat jual beli politik untuk jabatan," katanya lagi.

Transaksi Jabatan

Mahfud MD kembali mengungkapkan, bahwa hanya dengan bermodalkan Rp5 miliar, seseorang bisa menjabat sebagai kepala daerah. Transaksi jual beli jabatan itu bahkan dilakukan secara terang-terangan.

"Itulah untuk jabatan gubernur misalnya waktu itu gampang sekali orang bayar Rp5 miliar satu suara asal memilih gubernur ini. Transaksinya di lobi hotel yang dikontrol oleh ketua fraksi partai," sambungnya.

Karena itu, ia menilai, pemerintah harus mengganti sistem pemilihan kepala daerah yang ada. Melalui UU No 32 Tahun 2004, pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh masyarakat.

"Itu terjadi tahun 2004. Karena kemarahan politik kita terhadap DPRD di berbagai daerah. Sehingga di era-era itu banyak anggota DPRD masuk penjara,” ujarnya.

“Kita ubah UU sekarang jadikan kepala daerah DPRD sebagian di tekan gajinya diperkecil ini nya tidak boleh lagi minta laporan pertanggungjawaban. Tapi apakah keadaan lebih baik? tidak," pungkasnya. (FER).

BERITA TERKAIT