test

Fokus

Sabtu, 17 Agustus 2019 11:10 WIB

Inilah Sosok Pencipta Lagu Hari Merdeka Hingga Penyelamat Bendera Pusaka

Editor: Redaksi

Hussein Al Muthahar. (Foto: Dok Net)
PMJ - “17 Agustus tahun 45, itulah Hari Kemerdekaan kita, Hari Merdeka, Nusa dan bangsa, hari lahirnya Bangsa Indonesia……”. Tahukah kamu siapa pencipta lagu Hari Merdeka tersebut? Ya, dia lah Muhammad Husein bin Salim bin Ahmad bin Salim bin Ahmad al-Muthahar, atau yang lebih dikenal dengan nama Husein Mutahar, yang juga Pendiri Paskibraka, dan penyelamat Merah Putih. Habib Haji Muthahar merupakan seorang Habib yang lahir di Semarang, 5 Agustus 1916. Ia mempunyai kematangan usia, kerap mengamalkan ilmu yang luas yang dimilikinya, ikhlas terhadap apa pun, berhati-hati, serta bertakwa kepada Allah SWT. Sebagai pemuda pejuang, Habib Husein juga ikut dalam ‘Pertempuran Lima Hari’, yaitu aksi heroik di Semarang. Pertempuran antara rakyat Indonesia dengan tentara Jepang. Peristiwa itu terjadi di masa transisi kekuasaan setelah Belanda hengkang, tepatnya sejak 15-20 Oktober 1945. Dua penyebab utama pertempuran itu yakni larinya tentara Jepang, dan tewasnya dr. Kariadi. Gugur dalam pertempuran tersebut, dr. Kariadi kemudian diabadikan menjadi salah satu nama Rumah Sakit di Semarang. Melihat ke belakang, ketika pusat pemerintah Indonesia hijrah ke Yogyakarta, Habib Husein pernah diajak Laksamana Muda Mohammad Nazir yang saat itu menjadi Panglima Angkatan Laut, sebagai sekretaris panglima. Ketika mendampingi Nazir itulah, Bung Karno kemudian mengingat Habib Husein Mutahar sebagai ‘sopir’ yang mengemudikan mobilnya di Semarang, beberapa hari setelah ‘Pertempuran Lima Hari’. Kemudian Bung Karno menyampaikan kepada Nazir, agar Habib Husein dijadikan ajudan, dengan pangkat mayor angkatan darat. Pendiri Paskibraka, Gerakan Pramuka, dan Penyelamat Bendera Pusaka Habib Husein juga aktif dalam kegiatan kepanduan, karena ia merupakan salah seorang tokoh utama Pandu Rakyat Indonesia, gerakan kepanduan independen yang memiliki berhaluan nasionalis. Ketika seluruh gerakan kepanduan dilebur menjadi Gerakan Pramuka, Habib Husein juga menjadi tokoh di dalamnya. Namanya, terkait dalam mendirikan dan membina Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka). Tim yang hingga saat ini beranggotakan pelajar dari berbagai penjuru Indonesia, bertugas mengibarkan Bendera Pusaka, dalam upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI. Sementara itu, saat Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua, 19 Desember 1948 lalu. Hingga presiden, wakil presiden, dan beberapa pejabat tinggi Indonesia, ditawan penjajah tersebut. Namun, pada saat-saat genting, di mana Istana Presiden, Gedung Agung Yogyakarta dikepung oleh Belanda, Soekarno sempat memanggil Habib Husein, yang saat itu merupakan ajudannya. Habib Husein ditugaskan untuk menyelamatkan bendera pusaka. Penyelamatan bendera pusaka, menjadi salah satu bagian heroik, dari sejarah tetap berkibarnya Sang Merah putih di Bumi Nusantara. Saat itu, di sekeliling mereka, bom terus berjatuhan. Tentara Belanda pun terus mengaliri setiap jalanan kota. Habib Husein terdiam. Ia memejamkan matanya, dan berdoa. Tanggung jawabnya sungguh berat. Tetapi akhirnya, ia berhasil memecahkan kesulitan dengan mencabut benang jahitan yang menyatukan kedua bagian merah dan putih bendera pusaka. Dengan bantuan Ibu Perna Dinata, kedua carik kain merah dan putih itu berhasil dipisahkan. Kemudian, ia menyelipkan kain merah dan putih itu di dasar dua tas miliknya, secara terpisah. Seluruh pakaian dan kelengkapan lain miliknya, ia jejalkan di atas kain merah dan putih itu. Habib Husein hanya bisa pasrah, dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dalam pikirannya saat itu hanya satu, yakni bagaimana agar pihak Belanda tidak mengenali bendera Merah Putih tersebut sebagai bendera, melainkan kain biasa, sehingga tidak melakukan penyitaan. Di mata seluruh bangsa Indonesia, bendera itu adalah sebuah ‘prasasti’ yang wajib diselamatkan, dan tidak boleh hilang dari jejak sejarah. Benar saja, tak lama kemudian Presiden Soekarno ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Parapat (kota kecil di pinggir danau Toba) sebelum dipindahkan ke Muntok, Bangka. Sedangkan wakil presiden Mohammad Hatta, langsung dibawa ke Bangka. Jahit Kembali Bendera Pusaka dan Mengibarkannya Bendera Pusaka yang tadinya terpisah, ia jahit persis mengikuti lubang bekas jahitan tangan Ibu Fatmawati. Walaupun pada akhirnya, ada kesalahan jahit sekitar 2 cm dari ujungnya. Dengan dibungkus kertas koran (agar tidak mencurigakan), bendera pusaka diberikan kepada Soedjono untuk diserahkan sendiri kepada Bung Karno. Hal ini sesuai dengan perjanjian Bung Karno dengan Habib Husein, sewaktu di Yogyakarta. Maka, dengan diserahkannya Bendera Pusaka kepada orang yang diperintahkan Bung Karno, selesailah tugas penyelamatan yang dilakukan Habib Husein. Sejak itu, sang ajudan tak lagi menangani masalah pengibaran Bendera Pusaka. Selanjutnya, pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kembali ke Yogyakarta, dengan membawa serta bendera pusaka. Tepat tanggal 17 Agustus 1949, bendera pusaka dikibarkan lagi, di halaman Istana Presiden, Gedung Agung Yogyakarta. Habib Husein juga pernah diangkat menjadi Duta Besar Republik Indonesia, pada Tahta Suci di Vatikan, 1969-1973. Meski sudah banyak jasa yang ia berikan kepada Indonesia, Habib Husein yang meninggal dunia 9 Juni 2004 lalu, menolak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Padahal, dirinya memiliki Tanda Kehormatan Negara Bintang Mahaputera atas jasanya menyelamatkan Bendera Pusaka Merah Putih dan juga memiliki Bintang Gerilya atas jasanya ikut berperang gerilya pada tahun 1948-1949. Tapi ia memilih untuk dimakamkan di TPU Jeruk Purut, Jakarta Selatan. (DBS/ FER).

BERITA TERKAIT