test

News

Senin, 19 Agustus 2024 21:03 WIB

Polda Metro Setop Penyelidikan Laporan Dugaan Pencatutan, Ini Penjelasannya

Editor: Hadi Ismanto

Penulis: Fajar Ramadhan

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak saat memberikan keterangan. (Foto: PMJ News/Fajar)

PMJ NEWS - Polda Metro Jaya menghentikan proses penanganan kasus dugaan pencatutan identitas untuk penggunaan kepentingan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Jakarta 2024.

Dirreskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak mengatakan bahwa penghentian penyelidikan laporan polisi warga Jakarta Pusat berinisial S itu berdasarkan hasil analisa materi laporan.

"Selanjutnya telah dilakukan gelar perkara atas penanganan perkara aquo pada hari Senin, tanggal 19 Agustus 2024 dan forum gelar sepakat untuk menghentikan penyelidikan atas penanganan perkara aquo," ujar Ade Safri dalam keterangannya, Senin (19/8/2024).

Dalam laporan polisi yang dibuat S bersama kuasa hukumnya menyertakan Pasal 67 ayat 1 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.

Berikut merupakan isi Pasal tersebut:

Pasal 67:
(1) Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan Data Pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian Subjek Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) dipidana pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

(3) Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Sementara Pasal 65 berbunyi:
(1)Setiap Orang dilarang secara melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan Data Pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian Subjek Data Pribadi.

(2) Setiap Orang dilarang secara melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya.

(3) Setiap Orang dilarang secara melawan hukum menggunakan Data Pribadi yang bukan miliknya.

Ade Safri menjelaskan, penghentian penyelidikan laporan polisi tersebut dikarenakan dugaan tindak pidana yang dilaporkan sudah diatur secara khusus dalam pasal 185A Undang Undang RI Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, yang berbunyi:

Pasal 185A:

(1) Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan daftar dukungan terhadap calon perseorangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyelenggara pemilihan dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana maksimumnya.

Lantaran sudah diatur dalam Pasal tersebut, Ade Safri melanjutkan, maka dalam penerapan penegakan hukumnya berlaku asas hukum ”Lex Consumen Derogat Legi Consumte”, yang dimaknai perbuatan yang memenuhi unsur delik yang terdapat pada beberapa ketentuan hukum pidana khusus, maka yang digunakan adalah hukum pidana yang khusus yang faktanya lebih dominan sehingga mengabsorbsi ketentuan pidana yang lain.

Oleh karenanya, sesuai dengan Pasal 134 ayat (1) UU UU RI nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang yang berbunyi:

"Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS menerima laporan pelanggaran Pemilihan pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilihan”.

Berdasarkan Pasal 135 ayat (2) UU RI nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang yang berbunyi:

"Laporan tindak pidana Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diteruskan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak diputuskan oleh Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, dan/atau Panwas Kecamatan”.

"Terhadap ketentuan penanganan Tindak Pidana Pemilihan, maka satu-satunya lembaga yang berwenang menerima laporan pelanggaran Pemilihan adalah Badan Pengawas Pemilu, sedangkan Polri adalah lembaga yang menerima penerusan laporan dari Badan Pengawas Pemilu," tukasnya.

BERITA TERKAIT