test

Hukrim

Jumat, 29 Oktober 2021 20:05 WIB

Mahkamah Konstitusi Putuskan UU Covid-19 Berlaku Maksimal Dua Tahun

Editor: Ferro Maulana

Gedung Mahkamah Konstitusi. (Foto: PMJ News/ Adi)

PMJ NEWS -  Pihak Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskan untuk membatasi masa berlaku Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) atau UU Covid-19.

Dalam putusannya, MK mempertimbangkan Undang-undang Nomor 37/PUU-XVIII/2020 memutuskan UU Covid-19 hanya berlaku selama status pandemi Covid-19 belum diumumkan berakhir oleh Presiden dan paling lama sampai akhir tahun ke-2 sejak UU Covid-19 diundangkan.

"MK dalam putusan ini harus menegaskan pembatasan waktu pemberlakuan UU a quo secara tegas dan pasti agar semua pihak memiliki kepastian atas segala ketentuan dalam UU ini yang hanyalah dalam rangka menanggulangi dan mengantisipasi dampak dari pandemi Covid-19,” terang Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam Sidang Pengucapan Putusan yang digelar pada Kamis (28/10/2021) terhadap uji UU Covid-19.

“Sehingga keberlakuan UU ini harus dikaitkan dengan status kedaruratan yang terjadi karena pandemi tersebut," sambungnya.

Permohonan tersebut diajukan oleh Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA).

Selain itu, pemohon perorangan yaitu Desiana Samosir, Muhammad Maulana, dan Syamsuddin Alimsyah.

Para Pemohon menguji secara formil dan materiel UU Covid-19 yang dinilai melanggar hak konstitusional para Pemohon.

Dalam pertimbangan hukum, Mahkamah juga menilai bahwa secara konseptual, state of emergency dan law in time of crisis harus menjadi satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan sebagai upaya untuk menegaskan kepada masyarakat mengenai keadaan darurat.

Sehingga, memberikan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

"Pembatasan waktu secara tegas dan pasti terhadap UU Covid-19 ini agar semua pihak memiliki kepastian atas segala ketentuan yang ada di dalamnya,” tutur Suhartoyo.

“Hanyalah dalam rangka menanggulangi dan mengantisipasi dampak dari pandemi Covid-19 sehingga keberlakuan UU ini harus dikaitkan dengan status kedaruratan yang terjadi karena pandemi,” jelasnya.

Tetapi, dalam hal pandemi diperkirakan akan berlangsung lebih lama sebelum memasuki tahun ke-3, maka hal-hal yang terkait dengan alokasi anggaran untuk penanganan Pandemi Covid-19 harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD.

Lanjut Suhartoyo, pembatasan ini perlu dilakukan karena norma tersebut sudah memberikan pembatasan perihal skema defisit anggaran sampai 2022.

Karena itu, pembatasan dua tahun paling lambat Presiden mengumumkan secara resmi berakhirnya pandemi adalah sesuai dengan jangka waktu perkiraan defisit anggaran tersebut.

"Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan tersebut menurut Mahkamah Pasal 29 Lampiran UU Covid-19 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” tuturnya.  

“Dan harus dinyatakan tidak berlaku lagi sejak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa status pandemi Covid-19 telah berakhir di Indonesia dan status tersebut harus dinyatakan paling lambat akhir tahun ke-2," tambahnya.

"Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” ucap Suhartoyo.

Sebagai informasi, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) atau UU Covid-19 ditandatangani Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada 16 Mei 2020. Dan mulai diundangkan pada 18 Mei 2020.

BERITA TERKAIT