logo-pmjnews.com

News

Selasa, 23 Februari 2021 08:34 WIB

Kapolri Terbitkan Surat Edaran Pedoman Penanganan UU ITE

Editor: Hadi Ismanto

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat memberikan keterangan. (Foto: PMJ News)
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat memberikan keterangan. (Foto: PMJ News)

PMJ NEWS - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Surat Edaran (SE) tentang kesadaran budaya beretika untuk mewujudkan ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, dan produktif.

Surat Edaran bernomor SE/2/11/2021 itu ditandatangani langsung oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit pada Jumat, 19 Februari 2021.

Dalam Surat Edaran tersebut, Kapolri mempertimbangkan perkembangan situasi nasional terkait penerapan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang dinilai kontradiktif dengan hak kebebasan berekspresi masyarakat melalui ruang digital.

"Maka diharapkan kepada seluruh anggota Polri berkomitmen menerapkan penegakan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat," ungkap Kapolri, dalam Surat Edaran tertanggal 19 Februari 2021 tersebut.

Dalam rangka penegakan hukum yang berkeadilan dimaksud, kata Sigit, Polri senantiasa mengedepankan edukasi dan langkah persuasif. Sehingga dapat menghindari adanya dugaan kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan serta dapat menjamin ruang digital Indonesia agar tetap bersih, sehat, beretika, dan produktif.

Penyidik Polri pun diminta menjadikan pedoman beberapa hal. Di antaranya mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus berkembang dengan segala macam persoalannya.

Kemudian memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisir berbagai permasalahan dan dampak yang terjadi di masyarakat

"Mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber," tegas sigit.

Dalam menerima laporan dari masyarakat, lanjut Sigit, penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil.

Maka sejak penerimaan laporan, agar penyidik berkomunikasi dengan para pihak terutama korban (tidak diwakilkan) serta memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi.

"Melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan Bareskrim/Dittipidsiber (dapat melalui zoom meeting) dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada," tuturnya.

Berikutnya, lanjut Listyo Sigit, penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara. Terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme

"Korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan, namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali," tutur Listyo Sigit

Selanjutnya, penyidik agar berkoordinasi dengan JPU dalam pelaksanaanya, termasuk memberikan saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan. Agar dilakukan pengawasan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil dan memberikan reward serta punishment atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan.

"Surat Edaran ini disampaikan untuk diikuti dan dipatuhi oleh seluruh anggota Polri," tukasnya.

BERITA TERKAIT