test

News

Senin, 11 Februari 2019 08:06 WIB

Marak Hoax & Ujaran Kebencian, Akademisi: Itu Tantangan Kebebasan Pers

Editor: Redaksi

Mencegah berita hoax. (Foto: Ilustrasi/ Dok Net)
PMJ - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof Dr Syafruddin Kalo, SH, menerangkan, bahwa tantangan terbesar dunia pers saat ini yaitu banyaknya muncul hoax atau berita bohong yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan ujaran kebencian yang beredar di masyarakat. "Dunia pers, harus lebih teliti, dalam memperoleh berita dari masyarakat maupun sumber-sumber lainnya, untuk mencegah berita bohong dan ujaran kebencian," tegas Syafruddin, baru-baru ini. Untuk menghindari berita bohong tersebut, menurutnya, pers agar hati-hati dalam menyiarkan berita, sehingga tidak menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. "Berita murahan itu, tidak perlu dipublikasikan di media massa," ujar Syafruddin. Dirinya pun mengungkapkan, bahwa dalam mengantisipasi berita bohong dan ujaran kebencian tersebut, maka media dan seluruh pihak harus hati-hati menyikapinya, serta melakukan cek dan ricek terlebih dahulu sebelum disiarkan. Masyarakat dan pembaca saat ini, juga sudah cukup dewasa dan pintar, serta bisa membedakan mana berita yang benar dan yang tidak. Karena, menyiarkan berita bohong dan ujaran kebencian yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, tidak hanya melanggar Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Pokok Pers, namun juga membuat kegaduhan di masyarakat, serta mengganggu keamanan dan ketertiban di masyarakat (kamtibmas). "Jadi, pers juga diharapkan harus ikut bartanggung jawab untuk menciptakan keamaan dan kondusifitas di negeri ini," ujarnya menambahkan. Syafruddin memaparkan, dari sejak pascareformasi 1998 digulirkan, Indonesia mempunyai dua peraturan dalam bentuk Undang-undang yang mengatur tentang pers dan media massa. Pertama yaitu Undang-undang nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers dan kedua, Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 Tentang Penyiaran. Legitimasi ini memperkuat tentang bagaimana mestinya pers atau media massa melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pilar keempat dalam demokrasi modern. Bahkan, dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers, disebutkan bahwa Pers nasional melaksanakan peranannya memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi. Berdasarkan data yang diperoleh, saat ini, Indonesia mempunyai media massa yang jumlahnya mencapai 47.000, seperti media cetak, radio, televisi dan media online. Dari jumlah itu, ada 2.000 media cetak, 674 radio, 523 televisi termasuk lokal, dan selebihnya adalah media daring atau "online". Selain itu, masih banyak ditemukan media yang tidak memenuhi syarat. Kemudian, masih banyak wartawan yang tidak memiliki kompetensi dan tidak memiliki pengetahuan jurnalistik yang cukup. "Hingga saat ini, telah ada 14 ribu wartawan yang terdaftar, dan telah memiliki Uji Kompetensi (UKW) yang telah dilakukan PWI Pusat," tutupnya. (FER).

BERITA TERKAIT