test

Fokus

Minggu, 9 Agustus 2020 10:17 WIB

Optimis, Indonesia Hadapi Resesi Ekonomi Akibat Covid-19

Editor: Ferro Maulana

PMJ - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia mengalami kontraksi 5,32 persen tahun-ke-tahun.

Pertumbuhan negatif dari April sampai Juni merupakan pertama kalinya perekonomian Indonesia menyusut sejak 1999, ketika krisis keuangan Asia yang melumpuhkan mengakibatkan runtuhnya sistem perbankan nasional.

"Dilihat secara triwulanan hal ini merupakan yang terendah sejak triwulan pertama 1999, ketika ekonomi berkontraksi 6,13 persen,” tutur Kepala BPS Suhariyanto, kepada pewarta di Jakarta, baru-baru ini.

Menurutnya, dalam kuartal II perekonomian juga mengalami kontraksi 4,19 persen dibandingkan kuartal I.

Lanjutnya, penyusutan ini didorong oleh kontraksi konsumsi rumah tangga 5,5 persen tahun-ke-tahun (yang mewakili sekitar enam persepuluh dari produk domestik bruto, red), serta hampir 9 persen kontraksi dalam investasi (yang mewakili lebih dari sepertiga PDB).

Aktivitas ekonomi dan pembangunan di Indonesia. (Foto: PMJ/ Dok Net).

Kontraksi ekonomi secara keseluruhan lebih buruk dari yang diperkirakan oleh pejabat pemerintah sebelumnya.

Pada Juni, Indonesia mulai membuka kembali ekonomi dan kehidupan publiknya secara bertahap. Setelah tiga bulan penguncian parsial di sebagian besar negara kepulauan yang dihuni oleh 265 juta orang tersebut.

Sejak itu, kasus harian COVID-19 meningkat, di mana kelompok infeksi baru dilacak terjadi di kantor, pasar, dan tempat ibadah.

Indonesia Menyalip Filipina

Semua negara terus mengembangkan vaksin Covid-19 (Foto: PMJ News/Dok Net)

Sementara itu, jumlah kasus baru virus corona di Indonesia naik lebih 120 ribu pasien setelah 1.882 infeksi dilaporkan dalam semalam. 69 kematian baru membuat jumlah kematian terkait virus corona menjadi lebih dari 5600 orang.

Indonesia memimpin tipis Filipina sebagai negara di Asia Tenggara dengan jumlah kasus Covid-19 terkonfirmasi terbanyak, meskipun kasus di negara tetangga tersebut melonjak dalam beberapa hari terakhir.

Secara global, lebih dari 18,8 juta infeksi virus corona dan lebih dari 706.000 kematian sudah dilaporkan serta tercatat, menurut para pakar penyakit di Johns Hopkins University yang berbasis di Amerika Serikat.

Dipengaruhi Ekonomi Tiongkok

Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Airlangga Hartarto. (Foto: Instagram/@airlanggahartarto4.0)

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengatakan, kinerja ekonomi Indonesia juga dipengaruhi oleh penurunan ekonomi Tiongkok selama kuartal pertama 2020.

Tiongkok merupakan ekonomi terbesar kedua di dunia, merupakan tujuan ekspor utama Indonesia, menyumbang 21 persen dari ekspor Indonesia, diikuti oleh Negeri Paman Sam dengan 11,42 persen.

Selama tiga bulan pertama tahun ini, ekspor Indonesia ke Tiongkok turun hampir 7 persen.

“Tentu kita berharap ada pemulihan ekonomi di Tiongkok dan negara lain,” ungkap Airlangga dalam teleconference terpisah.

Menteri Perekonomian itu melanjutkan, dirinya optimis ekonomi akan membaik dalam kuartal ketiga dan keempat, berkat Pilkada Serentak yang dijadwalkan pada 9 Desember di sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Masih dari penuturan Airlangga, pemerintah menghabiskan Rp24 triliun dalam menyelenggarakan pemilihan umum. Sementara para kandidat diperkirakan membayar Rp10 triliun untuk biaya kampanye.

Indonesia Belum Alami Resesi

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (Foto Dok Net)

Walaupun mengalami kontraksi pada kuartal kedua, Indonesia belum memasuki resesi, demikian menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

“Ini kontraksi pertama tahun ini. Resesi bisa terjadi jika ekonomi berkontraksi selama dua kuartal berturut-turut,” ujar Sri Mulyani kepada pewarta.

Ia pun berharap ekonomi akan meningkat pada paruh kedua 2020 dengan peningkatan daya beli masyarakat, berkat paket stimulus untuk usaha kecil dan menengah.

“Diharapkan pertumbuhan ekonomi tetap berada di zona positif, antara 0 hingga 1 persen, di akhir tahun,” sambung Menkeu.

Kurangnya Pengeluaran Pemerintah

Terpisah, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), sebuah lembaga pemikir swasta, Bhima Yudhistira menghubungkan kontraksi itu dengan kurangnya pengeluaran pemerintah.

“Anehnya, pertumbuhan belanja pemerintah lebih rendah daripada pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal kedua,” papar Bhima.

Presiden Jokowi dan Menkeu Sri Mulyani. (Foto: PMJ/ Istimewa)

“Ini menunjukkan uang pemerintah ditahan, bukan dicairkan. Jadi jangan heran jika terjadi resesi pada kuartal ketiga,” ujarnya.

Kementerian Keuangan mengatakan, hanya sekitar 19 persen dari dana stimulus Covid-19 pemerintah yang berjumlah Rp695 triliun telah dicairkan pada akhir Juli.

Hal ini mendorong Presiden Joko Widodo untuk mendesak para menterinya bekerja lebih cepat atau menghadapi pemecatan.

Sedangkan, Piter Abdullah selaku Direktur Penelitian di Center for Economic Reform, telah memperkirakan resesi, tetapi mengatakan hal ini seharusnya tidak menimbulkan kepanikan.

“Negara-negara yang bergantung pada ekspor lebih rentan terhadap serangan ganda,” ungkap Piter.

“Tapi semua negara rentan, jadi masyarakat tidak perlu panik. Resesi menjadi norma baru selama pandemi,” katanya lagi melanjutkan.

Sanksi Pelanggar Protokol Kesehatan

Sementara itu, Jokowi mengeluarkan perintah eksekutif yang mengatur sanksi bagi pelanggar pedoman kesehatan Covid-19.

Perintah tersebut menetapkan bahwa individu dan bisnis dapat dikenakan teguran lisan dan tertulis, pekerjaan sosial, denda, dan penangguhan operasi bisnis karena melanggar protokol kesehatan yang ditentukan, yang mencakup persyaratan untuk memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak lebih dari satu meter. (DBS/ FER).

BERITA TERKAIT