test

Fokus

Selasa, 23 Juli 2019 11:30 WIB

"Selamat Hari Anak Nasional", Pentingnya Orang Tua Dalam Perlindungan Anak

Editor: Redaksi

Selamat Hari Anak Nasional. (Foto: Ilustrasi).
PMJ - Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2019 kali ini mengambil tema “Pentingnya peran orang tua dalam rangka perlindungan anak”. Pola pengasuhan dan perlindungan yang tepat dapat menciptakan kegembiraan anak yang terbebas dari ancaman kekerasan sebagaimana yang diharapkan. Menelisik ke belakang, pada tanggal 23 Juli merupakan hari penting bagi anak-anak Indonesia. 35 tahun silam, Presiden RI ke-2 Soeharto menetapkan Hari Anak Nasional. Penetapan dilakukan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 22 Tahun 1984. Anak-anak dianggap sebagai aset penting. Anak harus dilindungi untuk kemudian menjadi penerus bangsa. Keppres tersebut menyebutkan anak merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa. Oleh karenanya, bekal untuk anak perlu dijamin dengan baik. Usaha pembinaan, khususnya orang tua, juga menjadi titik penting bagi anak. Tetapi, 34 tahun setelah Keppres ditetapkan, upaya untuk menjamin kesejahteraan dan perlindungan anak seolah menemukan rintangan besar. Alhasil mendapatkan perlindungan yang baik, anak-anak justru kian rentan menjadi korban kekerasan. Merunut hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) yang dirilis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) pada 2018 lalu. Survei menunjukkan, dua dari tiga anak dan remaja di Indonesia pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya. Apa yang dialami anak itu meliputi kekerasan seksual, kekerasan emosional, dan kekerasan fisik. Sebagian kekerasan bahkan dilakukan oleh lingkungan terdekat, termasuk keluarga. Tak hanya menjadi korban, survei juga menemukan anak sebagai pelaku kekerasan. Sebanyak 3 dari 4 anak melaporkan pernah melakukan kekerasan emosional dan fisik terhadap teman sebaya. Data SNPHAR 2018 menunjukkan kekerasan terhadap anak tengah berada dalam posisi kritis. "Kejahatan ini tidak mungkin bisa diselesaikan tanpa adanya kerja sama seluruh pihak, termasuk keluarga," ungkap Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise. Kekerasan terhadap anak tak ubahnya fenomena gunung es. Bahwa apa yang muncul di permukaan belum tentu memperlihatkan fakta yang sebernanya. Tak menutup kemungkinan jika angka kasus kekerasan terhadap anak melebihi data yang ada.  "Kita tidak tahu berapa data kekerasan terhadap anak yang sebenarnya. Kemungkinan besar data yang tidak terlaporkan jauh lebih banyak," tambah Yohana. Indonesia sendiri telah turut meratifikasi Konvensi Hak Anak pada September 1990. Dengan ratifikasi tersebut, Indonesia berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak. Termasuk memberikan perlindungan agar anak terhindar dari kekerasan. Namun, selang hampir tiga dekade kemudian, anak-anak Indonesia justru terjerumus “lubang” kekerasan. Tidak lah berlebihan jika pada peringatan Hari Anak Nasional kali ini disebut bahwa situasi anak Indonesia masih belum terbebas dari kondisi darurat kekerasan. Berdasarkan catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas Anak), jumlah kekerasan terhadap anak di tengah kehidupan masyarakat terus meningkat. Sebanyak 52-58 persen pengaduan yang diterima didominasi kasus kekerasan seksual. Selebihnya sekitar 48 persen merupakan kasus kekerasan dalam bentuk lain seperti penganiayaan, penculikan, dan eksploitasi anak. Sebagian besar kasus kekerasan dilakukan oleh orang terdekat. Data juga menunjukkan bahwa rumah dan lingkungan sekolah tak lagi memberikan rasa nyaman dan jaminan atas perlindungan anak. "Kedua tempat ini justru menjadi tempat yang menakutkan bagi anak," jelas Ketua Komnas Anak, Arist Merdeka Sirait. Masih dari keterangan Arist, ketahanan keluarga telah tergerus dan mulai pupus. Pola pengasuhan anak yang telah bergeser mengakibatkan keluarga tak lagi menjadi tempat yang nyaman bagi anak. "Keluarga bahkan tak bisa menjadi garda terdepan perlindungan anak," kata Arist. Pihaknya menilai, pola pengasuhan anak di zaman kiwari tak menekankan pada unsur dialog partisipatif. Pola pengasuhan ini mementingkan adanya keterbukaan dan menjadikan keluarga sebagai guru utama bagi anak. Nampaknya, perlu adanya perubahan paradigma pola pengasuhan dalam keluarga yang otoriter menjadi pola pengasuhan yang menekankan pada dialog partisipatif. "Keluarga harus menjadi guru utama bagi anak," pungkasnya. (DBS/ FER).

BERITA TERKAIT