test

Hukrim

Senin, 15 Juni 2020 13:05 WIB

Ironi Pinjaman Onilne yang Mempermudah, Tagihan yang Membuat Resah dan Masalah

Editor: Fitriawan Ginting

OJK memantau seluruh fintech yang resmi terdaftar. (Foto : PMJ/Doknet).

PMJ- Di era digital ini banyak peluang untuk melakukan bisnis. Setiap orang dan setiap pihak bisa menggunakan platform digital untuk membuka ruang usaha. Salah satunya ada pinjaman online atau yang dikenal dengan sebutan pinjol.

Kehadiran pinjaman online bagaikan angin segar yang menyejukkan. Banyak masyarakat yang tergiur dengan penawaran mudah tak berbelit untuk proses kredit atau menyicil untuk membayarnya. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang langsung beralih meminjam secara online ketimbang harus mengajukan ke bank dan juga finance yang mungkin terlalu ribet dan banyak persyaratan. Penawarannyapun simple melalui pesan SMS, BC via WA dan bahkan ada yang menawarkan melalui media sosial. Kehadiran fintech ini sempat menggoyang dunia kredit di Indonesia.

Meminjam online cukup dengan menyodorkan foto copy KTP, mendownload aplikasinya lalu menandatangani isi perjanjian yang disodorkan. Salah satunya adalah bersedia datanya untuk diakses kapan dan dimana pun oleh pinjol. Wow mudahkan? Tanpa disurvei, tanpa didatangi rumah dan yang paling mudah lagi, tanpa ada jaminan apapun. Menariknya, sekejap uang yang diinginkan langsung cair. Wushhhh…bisa shopping deh.

Namun ternyata pinjol tak semenarik luarnya dan kemudahan yang diberikan diawalnya. Faktanya banyak nasabah yang akhirnya resah dan mengeluh dengan bunga dan hasil pinjaman yang mereka dapatkan. Mengajukan 1 juta hanya mendapatkan 600 ribuan dengan berbagai potongannya.

Tagihan melonjak bisa sampai 2 kali lipat. Yang meresahkan lagi, tagihan bisa datang setiap hari dan juga sampai ke data nomor telepon genggam yang dimiliki nasabah. Tagihan bisa sampai ke handphone orangtua, saudara, sahabat, klien dan juga teman kita pada umumnya. Dengan kata lain, tagihannya meneror dan mempermalukan diri dari nasabah.

OJK memantau seluruh fintech yang resmi terdaftar. (Foto : PMJ/Doknet).

Dasar Hukum

Kasus maraknya pinjaman online sampai ke kepolisian. Di tahun 2019 saja, pemblokiran pinjaman online banyak dilakukan ke pinjol yang berstatus ilegal. Namun banyak juga fintech yang legal dan sudah ada lebih dari 30 perusahaan fintech terdaftar resmi di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan jasa pemberian kredit online.

Dasar hukum pinjaman online sendiri sudah tercatat di POJK 77. Peraturan OJK yang mengatur pasal pinjaman online, prosedur pinjaman online, atau kategori pinjaman online ilegal termasuk sanksi OJK terhadap pinjaman online. Adanya POJK 77 dari OJK menjadi dasar hukum kredit online di Indonesia.

Bahkan di tengah Pandemi Covid-19 ini, Kepala Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi OJK Tongam L Tobing sempat mengatakan, penawaran investasi bodong dan pinjaman online ilegal semakin marak dilakukan karena melihat kondisi ekonomi masyarakat yang sedang melemah akibat wabah ini.

"Banyak juga yang memanfaatkan situasi pandemi (Covid-19) ini. Mereka (Fintech Ilegal atau Pinjol) gencar meningkatkan aktivitas yang dekat dengan masyarakat. Apalagi di pinjaman online, mereka kan butuh untuk hidup. Situasi inilah yang mereka manfaatkan,” terang Tongam, di bulan Mei 2020 kemarin.

Ditambahkan Tongam, selama bulan April 2020 saja ada 18 entitas fintech ilegal yang berusaha untuk menawarkan kemudahan kepada masyarakat yang mengalami kesulitan keuangan di tengah pandemi. Entitas tersebut menerapkan bunga pinjaman yang tinggi dan jangka waktu pengembalian yang pendek, sehingga tentu saja hal ini mencekik debitur yang terpaksa meminjam karena tidak ada cara lain mendapatkan uang untuk hidup. Disampaikan Tongam, pinjol akan baik bila digunakan untuk mereka yang sulit mengakses pendanaan dari perbankan dan lembaga keuangan resmi lain, terutama pelaku UMKM.

"Saat ini yang resmi ada 161 dan ada di OJK. Untuk yang illegal hampir 2.500. Masyarakat perlu diedukasi agar meminjam di pinjol yang resmi dan terdaftar di OJK,” saran Tongam.

Pinjol berkembang biak. (Foto : PMJ/Ilustrasi Fifi).

Ribuan Pengaduan ke YLKI

YLKI telah merilis jumlah pengaduan konsumen yang masuk selama tahun 2019 dengan jumlah total sebesar 1.871 pengaduan. Ada dua kategori dari jumlah aduan. Pertama, pengaduan kategori individual sebanyak 563 kasus. Kedua, pengaduan kategori kelompok atau kolektif sebanyak 1.308 kasus. Dari total kasus, masalah mengenai pinjaman online memiliki porsi besar, dengan jumlah pengaduan sebanyak 96 kasus.

Anggota Tim Pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Rio Priambodo mengatakan, masalah paling utama kasus pinjol dan nasabah adalah terkait tata cara penagihan pinjaman ke nasabah yang menurut mereka banyak tak sesuai dengan aturan yang ada. Dari data yang ada, aduan yang masuk, 39,5 persen di antaranya melaporkan keluhan soal cara penagihan.

"Kami sudah survey, banyak konsumen yang mengeluhkan masalah tata cara penagihan tidak sesuai dengan prosedur. Dan sangat tidak disuaki sistem penagihan yang ada,” jelas Rio.

Ditambahkan Rio, mayoritas pinjol melakukan penagihan yang melanggar aturan. Salah satunya, menggunakan pihak ketiga sebagai penagih utang konsumen. Hal ini diyakini sebagai efek jerah kepada konsumen atau nasabah.

Kasus pinjol di Jakarta Utara di akhir tahun lalu. (Foto : Dok PMJ).

Berbagai Kasus

Sementara itu, Unit Krimsus Satreskrim Polres Metro Jakarta Utara sempat menggerebek sebuah kantor pinjaman online ilegal di kawasan Mal Pluit Village Penjaringan, Jakarta Utara pada akhir tahun lalu (2019).

Perusahaan bernama PT Vega Data dan Barracuda Fintech itu disebut ilegal karena tidak terdaftar dalam Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Modus yang digunakan yakni dengan memanfaatkan SMS blasting untuk menggaet ratusan ribu nasabah.

Perusahaan tersebut tidak mengenakan bunga bagi warga yang meminjam uang kepada mereka. Tetapi, mereka memotong dana pinjaman nasabah di awal dengan alasan administrasi. Kasus pengungkapan tersebut hanya segelintir dari maraknya penipuan pinjaman online di Indonesia. Sebelumnya, terdapat sejumlah kasus penipuan pinjaman online yang terkuak karena aduan dari nasabah.

Salah satu kasus pinjaman online yang masuk ranah hukum dialami oleh YI (51) warga Solo, Jawa Tengah. Foto YI disebar di media sosial dengan tulisan bahwa dirinya "siap digilir" lantaran telat membayar pinjaman selama dua hari. YI meminjam senilai Rp 1.000.000. Tetapi dirinya hanya menerima Rp 680.000. Kemudian, YI harus mengembalikan pinjaman tersebut senilai Rp 1.054.000 dalam jangka waktu seminggu. YI melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Soloraya akhirnya melaporkan oknum pinjaman online Incash dan penyebar poster foto dirinya ke medsos tersebut kepada pihak berwajib. Kasus ini sempat ramai di media.

Ada juga pelapor bernama Gema Lazuardi Akbar warga Jakarta Timur yang melaporkan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang fintech atau pinjaman online ke Polda Metro Jaya karena merasa data-datanya disebar luaskan. Selain datanya disebar, pelapor mengaku mendapat ancaman dari debt collector yang bekerja di perusahaan fintech itu.

"Hari ini kita lapor salah satu fintech atau pinjaman online yang kami duga ilegal melakukan tindakan pencemaran nama baik dari beberapa korban. Di sini ada puluhan korban yang melapor terkait pencemaran nama baik, ancaman kekerasan, jadi hari ini kita laporin ke Polda Metro Jaya," kata pengacara pelapor, Mulkan Let-Let di Polda Metro Jaya, 2019 lalu.

Pelapor meminjam uang sebesar Rp 1,2 juta. Namun ia hanya menerima Rp 600 ribu dan harus mengembalikan dengan bunga yang besar dan denda per hari mencapai Rp 60-80 ribu jika korban tidak bisa membayar utang tersebut. Mulkan menyebut awalnya korban mendapat penawaran melalui SMS sehingga ia tertarik untuk berhutang. Korban kemudian mengajukan aplikasi dengan menyerahkan data-data via online.

"Ada beberapa korban yang sudah didatangi oleh debt collector dari fintech ilegal itu. Lalu ancaman lainnya menyebarluaskan data-data dari korban," kata Mulkan.

"Selain itu, mereka juga melakukan SMS blast ke seluruh kontak korban dengan kata-kata yang menyatakan bahwa korban telah melakukan penggelapan uang kantor, melakukan pencurian, penipuan. Sebenarnya itu kan sudah di luar dari konteks pinjaman yang sebenarnya," sambungnya.

Tersangka Pihak Pinjol

Sepanjang tahun 2019 ini, sudah ada puluhan aduan dari mereka yang menjadi korban fintech pinjaman. Di bulan Januari, Polri menetapkan empat karyawan perusahaan fintech peer 2 peer (P2P) lending ilegal, Vloan, sebagai tersangka. Mereka terlibat dalam kasus pornografi, pengancaman, asusila, ancaman kekerasan, dan menakut-nakuti melalui media elektronik dalam menagih pinjaman ke nasabahnya.

Vloan adalah fintech P2P lending milik PT Vcard Technology Indonesia. Kasus Vloan ini adalah kasus penagihan tidak beretika aplikasi fintech ilegal di Indonesia pertama yang ditangani Polri. Ada juga kasus sopir taksi yang ditemukan tewas gantung diri di sebuah kamar indekos karena terjerat pinjaman online. Pria tersbeut menulis surat, bahwa ia sedang terlilit utang dan dikejar-kejar oleh rentenir online.

"Wahai para rentenir online, kita ketemu nanti di alam sana," tulis korban yang bernama Zulfadhli dalam suratnya yang ditemukan kepolisian di lokasi gantung diri.

Zulfadhli juga berpesan agar keluarganya tidak perlu membayar utang kepada rentenir online.

"Kepada OJK dan pihak berwajib, tolong berantas pinjaman online yang telah membuat jebakan setan," sarannya.

Bahkan seorang perempuan berinisial L, ibu rumah tangga nekat menenggak minyak tanah untuk mencoba mengakhiri hidupnya. Hal lebih tragis, awal mula percobaan bunuh diri itu dilakukan karena persoalan utang senilai Rp 500 ribu dari sebuah aplikasi fintech.

Dirkimsus Polda Metro Jaya Kombes Pol Roma Hutajulu menatakan, seluruh kasus pinjol dan fintech ilegal masih terus ditanganiu dan diproses. Pihaknya akan terus berupaya untuk membasmi pinjol ilegal yang meresahkan masyarakat. Bahkan cara-cara menagih yang tidak beretika dan mencemarkan nama baik nasabah juga akan diselidiki.

“Masyarakat harus cermat dalam meminjam. Harus terukur sehingga tidak ada yang dirugikan. Kami juga akan terus menyelidikan pinjaman online ilegal yang meresahkan masyarakat. Cara-cara seperti ini harus secepatnya diatasi,” tegas Kombes Roma Hutajulu. (Gtg-03).

BERITA TERKAIT