test

News

Minggu, 25 April 2021 21:09 WIB

Puasa Ramadhan, Media Latihan Kita untuk Selalu Bersyukur

Editor: Ferro Maulana

Puasa Ramadhan. (Foto: Dok Net/ Ilustrasi)

PMJ NEWS -  Ramadhan merupakan sekolah madrasah. Ruang belajar yang harus dimasuki manusia. Ruang didik yang harus diduduki manusia.

Di dalamnya, terdapat banyak pelajaran tentang perbaikan diri; tentang pengembangan rasa, dan tentang peluasan persepsi.

Dengan menyelami hikmah Ramadhan, manusia khususnya umat Islam dapat memasuki reaktualisasi diri, yang akan menyegarkan sekaligus membarukan cara kerja jiwanya selama ini.

Berbagai hal yang kita sepelekan atau abaikan, tiba-tiba menjadi begitu berharga di bulan penuh berkah ini. Level apresiasi kita bertambah dan meningkat.

Muslim yang selalu bersyukur. (Foto: Ilustrasi/ Dok Net)
Muslim yang selalu bersyukur. (Foto: Ilustrasi/ Dok Net)

Hanya saja, peningkatan tersebut terjadi sesaat dan cenderung tidak dikenali. Usai berbuka, atau setelah Ramadhan berlalu, peningkatan itu akan terlupakan begitu saja, seperti yang sudah-sudah.

Untuk lebih jelas, mari kita bahas bersama. Manusia, pada umumnya merupakan makhluk yang mudah takjub dan heran.

Akal pikiran manusia akan bekerja, bertanya-tanya, dan berusaha memahami suatu peristiwa menakjubkan atau benda aneh di depannya.

Contohnya, saat kita pertama kali melihat pesawat terbang, kita takjub dan heran, seakan-akan bertanya, bagaimana mungkin benda sebesar dan seberat itu bisa terbang; bagaimana caranya; siapa yang membuatnya, dan pertanyaan-pertanyaan sejenis lainnya.

Tetapi, ketika kita telah sering melihatnya, ketakjuban kita perlahan-lahan memudar, kita tidak lagi menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, bahkan kita tidak lagi mempedulikannya.

Maka, ketakjuban dan daya kritis manusia bisa memudar dengan mudah tanpa perlu mendapatkan jawaban memuaskan.

Selama hal-hal yang ditakjubi dan diherankannya sudah menjadi kebiasaan, dia perlahan-lahan abai akan hal itu. Begitu pun dengan puasa.

Saat muslim berpuasa, apresiasi kita terhadap hal-hal yang sering kita abaikan meningkat, seperti terhadap air putih dan nasi misalnya.

Kita yang biasanya melihat itu “sepintas lalu” menjadi sangat berharga. Artinya, makanan dan minuman kembali pada nilai asalnya yang berharga.

Melatih Rasa Syukur

Karena itu, puasa harus dijadikan titik ulang untuk menyemai kembali rasa syukur kita akan segala sesuatu.

Yakni, diawali dengan kebutuhan pokok (makanan dan minuman), kemudian berlanjut ke pelbagai hal. Tapi sebelum itu, kita harus memahami terlebih dahulu, apa itu “syukur”.


Dalam kitab Bashâ’ir Dzawî al-Tamyîz fî Lathâif al-Kitâb al-‘Azîz, Imam Majduddin Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi (w. 817 H) membagi syukur dalam tiga kategori.

“Syukur terdiri dari tiga tipe:
(1) syukur dengan hati, yaitu pembayangan (atau penggambaran) nikmat (dalam hati).
(2) syukur dengan lisan, yaitu pujian kepada pemberi nikmat.

(3) syukur dengan anggota tubuh lainnya, yaitu membalas kenikmatan dengan kadar (atau derajat) yang pantas (didapatkan tubuh)”

(Imam Majduddin Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi, Bashâ’ir Dzawî al-Tamyîz fî Lathâif al-Kitâb al-‘Azîz, Kairo: al-Majlis al-A’la li Syu’un al-Islamiyyah, 1996, juz 3, h. 334).

Hal itu berarti, syukur harus dilatih dan dihadirkan. Dan puasa adalah aktivitas pelatihan yang tepat untuk itu.

Seperti yang disebutkan di atas, dengan puasa, tanpa sadar kita mulai mengapresiasi hal-hal yang seharusnya diapresiasi.

Misalnya, air minum, makanan dan lain sebagainya, yang sebelumnya sering kita abaikan nilainya.

Terapkan Rasa Syukur

Karena itu, kita harus mulai mengambil inisiatif untuk aktif bersyukur.

Melatihnya dari yang paling ringan, bersyukur dengan hati dan lisan. Selanjutnya, meningkat ke arah bersyukur dengan seluruh anggota badan.

Seperti, bersyukur dengan hati adalah aktivitas visualisasi nikmat yang kita dapatkan. Ini penting, karena visualisasi nikmat adalah pintu masuk menuju syukur dalam wilayah praktis.

Tentu, tidak mungkin kita mampu memvisualisasi seluruh nikmat Tuhan kepada kita, karena jumlahnya tak berhingga.

Namun, aktivitas ini menjadi penting untuk menyadarkan kita dari perasaan serba malang dan sulit. Contohnya, mungkin saja di satu sisi kita merasa susah dalam hal usaha, tapi di sisi lain kita sukses dalam hal kesehatan, dan seterusnya.

Berikutnya, kita akan memasuki syukur dengan lisan, yaitu apresiasi dalam bentuk ucapan (pujian). Bisa dengan tahmîd, tasbîh, tahlîl dan lain sebagainya.

Syukur Lisan dan Hati

Bersyukur dengan lisan berkaitan erat dengan bersyukur dengan hati. Alasannya, setelah melakukan proses visualisasi nikmat, kita pasti tersadar bahwa pujian setinggi dan sebesar apapun tidak akan menyetarai segala nikmat yang diberikan Allah SWT kepada kita.

Selain, kemampuan kita bersyukur juga berasal dari-Nya. Nabi Dawud ‘alaihissalam ketika mendengar firman Allah (QS. Saba’: 13): “Bekerjalah, wahai keluarga Daud, untuk bersyukur”.

“Wahai Tuhan, bagaimana aku bersyukur kepada-Mu, padahal syukur adalah nikmat (pemberian)-Mu (juga)?” Allah berfirman: “Sekarang kau telah bersyukur kepada-Ku, karena kau telah tahu bahwa nikmat itu berasal dari-Ku” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Kairo: al-Faruq al-Haditshah li al-Thiba’aj wa al-Nasyr, 2000, juz 11, h. 267).

Perasaan “tahu” atas ketidakmampuan mensyukuri seluruh nikmat Allah SWT sangat penting dimiliki manusia.

Karena dapat mendorong keistiqamahan dalam bersyukur. Orang yang mengetahui dan menyadari hal ini akan malu jika berhenti, atau akan terus berusaha untuk terhindar dari kelalaian bersyukur kepada-Nya.

Karena ia tahu, seberapa sering dan banyak syukurnya, tidak mungkin menyetarai nikmat yang diterimanya.

Bersyukur dengan Anggota Tubuh

Selanjutnya yakni syukur dengan anggota tubuh lainnya. Yaitu membalas nikmat dengan perbuatan dan derajat yang pantas didapatkan tubuh.

Maksudnya dengan memenuhi hak-hak tubuh, baik jasmani maupun ruhani. Hak-hak jasmani seperti menjaga kesehatan, memenuhinya dengan nutrisi, gizi, makanan halal, dan lain-lain.

Adapun hak ruhani seperti menjaga mata, telinga, lidah, tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya dari hal-hal buruk, dan mengarahkannya untuk melihat, mendengar, melakukan, dan berjalan kepada kebaikan, pengetahuan dan keberkahan.

Syukur Adalah Bertakwa

Karena itu, Sayyidina Muhammad bin Ka’b al-Qurdhi (w. 108 H). “Syukur adalah bertakwa kepada Allah SWT dan (melakukan) amal saleh” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, juz 11, h. 266).

Bertakwa menjauhi larangan-Nya, mengerjakan perintah-Nya, dan beramal saleh karena-Nya, adalah bentuk syukur kepada Allah SWT.

Dengan kata lain, anugerah Allah berupa seluruh anggota tubuh, dimanfaatkan dan digunakan sesuai dengan kehendak-Nya, yaitu kebaikan dan tidak berbuat kerusakan.

Maka dari itu, bulan Ramadhan merupakan saat terbaik untuk menghadirkan “syukur” secara nyata, merasai dan melekatkannya dalam kehidupan kita.

Karena pada dasarnya, jika penjiwaan syukur telah tertanam, segala hal akan dikerjakan sebagai ungkapan syukur atas nikmat-nikmat-Nya, seperti perintah Allah SWT kepada keluarga Dawud (QS. Saba’: 13): “Bekerjalah, wahai keluarga Dawud, untuk bersyukur.” (Sumber: Nahdlatul Ulama).

BERITA TERKAIT