Rabu, 23 September 2020 15:41 WIB
Tarung di Meja Peradilan, PRT Indonesia Menang Lawan Konglomerat Singapura
Editor: Ferro Maulana
PMJ – Pekerja migran asal Indonesia Parti Liyani dibebaskan hakim Singapura setelah dituduh mencuri barang keluarga Bos Changi Airport Group Liew Mun Leong. Atas kasus ini Liew pun harus mundur dari jabatannya.
Kasus ini menarik perhatian publik di Singapura dan sebagian besar orang marah pada Liew dan keluarganya. Banyak yang menganggap kasus ini sebagai contoh orang kaya atau konglomerat dan elite yang menindas orang miskin dan tidak berdaya dan hidup dengan aturan mereka sendiri.
Kantor berita Straitstimes, melaporkan skandal yang melibatkan Liew ini memicu kemarahan warga Singapura dan menimbulkan banyak pertanyaan terkait bagaimana sistem hukum Singapura memperlakukan seorang pengusaha terkemuka dimana sangat berbeda ketimbang masyarakat kelas bawah seperti pembantu rumah tangga (PRT) bergaji rendah.
Kasus ini berawal pada 2016 lalu, saat keluarga Liew memecat Parti Liyani yang sudah bekerja sebagai PRT selama 9 tahun. Keluarga Liew menuduh tanpa bukti bahwa Parti mencuri barang-barang mereka yang nilainya mencapai 34 ribu dolar Singapura atau setara Rp 372,9 juta, termasuk jam tangan dan pakaian milik Liew.
Tentu saja, Parti membantah seluruh tuduhan yang diberikan kepadanya. Namun dalam persidangan tahun 2019 lalu, dia dinyatakan bersalah atas empat dakwaan pencurian dan divonis lebih dari 2 tahun penjara.
Namun, ketika sidang banding digelar di Pengadilan Tinggi Singapura, hakim membatalkan putusan pengadilan sebelumnya dan menyatakan bahwa keluarga Liew mempunyai “motif tidak benar” dalam melontarkan tuduhan terhadap Parti.
Terungkap fakta dalam sidang banding bahwa Parti hendak melaporkan majikannya kepada otoritas berwenang saat dirinya juga diperintahkan membersihkan rumah dan kantor putra Liew.
Hal ini tergolong ilegal di Singapura, lantaran Parti hanya dipekerjakan untuk membersihkan rumah Liew saja. Hakim setempat menyatakan ada alasan untuk meyakini, penjeratan dakwaan terhadap Parti, bertujuan untuk mencegah langkah itu. Hakim juga mempertanyakan kredibilitas putra Liew, Karl, sebagai saksi dalam persidangan.
Tuduhan Palsu ke Parti Liyani
Hakim mencatat banyak barang yang diduga dicuri oleh Parti sebenarnya sudah rusak - seperti jam tangan yang memiliki tombol yang hilang, dan dua iPhone yang tidak berfungsi - dan mengatakan "bukan hal yang biasa" untuk mencuri barang-barang yang tidak berfungsi.
Dalam satu contoh, Parti dituduh mencuri pemutar DVD, yang menurut Parti telah dibuang oleh keluarga itu karena tidak berfungsi. Selanjutnya Jaksa mengakui bahwa mereka tahu mesin tersebut tidak dapat memutar DVD, namun tidak mengungkapkan hal ini selama persidangan ketika barang itu digunakan sebagai bukti dan terbukti dapat difungsikan dengan cara lain.
Hal tersebut mendapat kritik dari Hakim Chan yang mengatakan mereka telah menggunakan "teknik sulap yang sangat merugikan terdakwa". Berikutnya, Hakim Chan juga mempertanyakan kredibilitas Karl Liew sebagai saksi.
Liew yang usianya lebih muda dari Parti menuduh asisten rumah tangga tersebut mencuri pisau merah muda yang diduga dibelinya di Inggris dan dibawa kembali ke Singapura pada tahun 2002. Tetapi, ia mengakui bahwa pisau itu memiliki desain modern yang tidak mungkin diproduksi di Inggris sebelum tahun 2002.
Putra Liew mengklaim bahwa berbagai pakaian, termasuk pakaian perempuan, yang ditemukan dalam kepemilikan Parti sebenarnya adalah miliknya – tetapi ia tidak dapat mengingat apakah dia mempunyai beberapa pakaian itu.
Saat, ditanya selama persidangan mengapa Karl Liew memiliki pakaian perempuan, dia mengatakan dia suka melakukan cross-dressing (memakai baju lain jenis) - sebuah klaim yang menurut Hakim Chan "kebohongan besar".
Hakim Chan juga mempertanyakan tindakan yang diambil oleh Kepolisian Singapura - yang tidak mengunjungi atau melihat lokasi kejadian (TKP) sampai sekitar lima minggu setelah laporan awal polisi dibuat.
Polisi Singapura juga tidak menawarkan penerjemah yang bisa berbahasa Indonesia dan justru memberikan penerjemah yang bisa berbahasa Melayu, bahasa lain yang tidak dimengerti oleh Parti.
"Tindakan Kepolisian Singapura dalam cara mereka menangani penyelidikan Parti sangat bodoh," ungkap Profesor Hukum Eugene Tan dari Universitas Manajemen Singapura kepada Channel News.
"Hakim distrik (Hakim Pengadilan Negeri) tampaknya telah berprasangka buruk terhadap kasus itu. Dan gagal melihat kegagalan polisi dan jaksa yang tidak menghadirkan bukti."(Sumber: Strait Times/ Channel News/Fer)