test

Politik

Sabtu, 10 Oktober 2020 07:47 WIB

Presiden Jokowi Kesal dengan Banyaknya Hoax Terkait UU Cipta Kerja

Editor: Ferro Maulana

Presiden Jokowi saat Rapat Terbatas secara virtual. (Foto : PMJ/YouTube Sekpres).

PMJ - Presiden RI Joko Widodo mengaku kesal karena sudah sangat banyak hoax yang beredar terkait UU Cipta Kerja.

Hoax yang beredar di masyarakat memicu aksi anarkis dan chaos (keos) ketika demonstrasi UU Cipta di beberapa provinsi di Indonesia. Jokowi menilai informasi hoax itu harus segera diluruskan.

Dalam pidatonya, Jokowi menyebutkan sangat banyak informasi yang simpang siur dan ditanggapi berbeda berkenaan UU Cipta Kerja. Di bawah ini kutipan pidato Kepala Negara yang disampaikan pada Jumat (9/10/2020) malam:

Terdapat informasi hoax yg beredar, ada penghapusan UMP (upah minimum provinsi), UMK (upah minimum kota/kabupaten), UMSP (upah minimum sektoral provinsi). Hal ini tidak benar, karena faktanya UMR tetap ada.

Ada juga yang menyebutkan upah dihitung per jam, ini juga tidak benar! Tidak ada perubahan dengan sistem yang sekarang. Upah bisa dihitung berdasarkan waktu dan hasil.

Kemudian ada kabar yang menyebutkan semua cuti, baik cuti sakit, cuti kawinan, cuti khitanan,, cuti babtis, cuti kematian, cuti melahirkan, dihapuskan dan tidak ada kompensasinya. Saya tegaskan,, ini tidak benar! Hak cuti tetap ada dan dijamin..

Kemudian, apakah perusahaan bisa mem-PHK secara sepihak? Ini juga tidak benar. Yang benar perusahaan tidak bisa mem-PHK secara sepihak.

Kemudian, juga pertanyaan, benarkah, jaminan sosial dan kesejahteraan lainnya hilang. Yang benar, jaminan sosial tetap ada!

Yang juga sering diberitakan tidak benar adalah dihapuskannya Amdal (analisis dampak lingkungan). Itu juga tidak benar! Amdal ada! Bagi industri besar harus ada studi Amdal yang ketat, tetapi kepada UMKM lebih ditekankan kepada pendampingan dan pengawasan.

Ada juga berita mengenai UU Cipta Kerja ini mendorong komersialisasi pendidikan, ini juga tidak benar. Karena yang diatur hanyalah pendidikan formal di kawasan ekonomi khusus (KEK). Sedangkan perizinan pendidikan tidak diatur di UU Cipta Kerja ini, apalagi perizinan pendidikan di pondok pesantren. Itu sama sekali tidak diatur dalam UU Cipta Kerja, aturan yang selama ini ada, tetap berlaku.

Kemudian diberitakan bahwa keberadaan bank tanah. Bank tanah ini diperlukan, untuk menjamin kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi dan konsolidasi lahan serta reforma agraria. Ini sangat penting untuk menjamin akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah, kepemilikan lahan. Dan kita selama ini tidak memiliki bank tanah.

Saya tegaskan juga bahwa UU Cipta Kerja tidak melakukan resentralisasi kewenangan dari pemerintah daerah ke pemerintahan pusat. Tidak! Tidak ada!

Perizinan dan pengawasannnya tetap dilaksanakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan NSPK (norma, standar, prosedur dan kriteria) yang ditetapkan pemerintah pusat. Ini agar dapat tercipta standar pelayanan yang baik di seluruh daerah dan penetapan NSPK dapat diatur dalam PP (peraturan pemerintah)

Selain itu, kewenangan perizinan untuk non perizinan berusaha tetap ada di Pemda, sehingga tidak ada perubahan. Bahkan kita melakukan penyederhanaan, melakukan standardisasi jenis dan prosedur perusahaan di daerah dan perizinan perusahaan di daerah diberikan batas waktu, ini yang penting disini. Jadi ada service level of agreement, permohonan perizinan dianggap disetujui bila batas waktu telah terlewati.

Saya perlu tegaskan pula bahwa UU Cipta Kerja ini memerlukan banyak sekali peraturan pemerintah atau PP dan peraturan presiden atau perpres. Jadi setelah ini akan muncul PP dan Perpres yang akan diselesaikan paling lambat 3 bulan setelah diundangkan. Kita membuka dan mengundang masukan dari masyarakat, dan masih terbuka masukan dan usulan dari daerah-daerah.

Pemerintah berkeyakinan, melalui UU Cipta Kerja ini, maka jutaan pekerja dapat memperbaiki kehidupan dan juga penghidupan bagi keluarga mereka. Jika masih ada ketidakpuasan terhadap UU Cipta Kerja ini, silakan mengajukan uji materi atau judicial review melalui MK atau Mahkamah Konstitusi.

Sistem ketataan negara kita memang mengatakan seperti itu, jadi kalau masih ada yang tidak puas dan menolak, silakan melakukan uji materi ke MK. Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini....Terima kasih. (Sumber: Setneg/ Fer).

BERITA TERKAIT