test

Hukrim

Rabu, 26 September 2018 19:25 WIB

Sekelompok Preman Kuasai Ruko Warga di Rawamangun

Editor: Redaksi

Jakarta, Pmjnews.com - Delina Eloria Hutapea (66), menderita kerugian ratusan juta setelah rukonya di jalan Balap Sepeda, Rawamangun dijarah sekelompok orang pada 16 Mei 2018. Menurut Delina, penjarahan ini merupakan buntut sengketa tanah yang dia tempati dengan pihak lain. Awalnya, bangunan ruko tersebut telah lama dibangun oleh Delina Eloria Hutapea. Bahkan ditempatinya sejak tahun 1985. “Saya sudah tinggal di sini sejak tahun 1985. Pada tahun 1992 terjadi penggusuran diantara gang 10 dan 11. Warga disekitar situ disuruh meninggalkan tempat itu dengan bayaran 400 ribu per meter. Bahkan saya juga sempat disuruh dengan bayaran 2 juta per meter. Namun tidak saya berikan karena ini sawah saya,” katanya kepada wartawan. Delina sendiri menyatakan dirinya tidak termasuk yang digusur. Saat itu bangunan milik Delina akhirnya tidak ikut digusur. Hanya bangunan di no.59 yang ikut digusur. Delina mengungkapkan bahwa selama ini dia berjualan diruko tersebut aman-aman saja. Pada tahun 1996, saat mengurus ijin usaha di lokasi tersebut, oleh Lurah setempat disarankan agar jangan dibuat perjanjian jual beli namun ganti rugi bangunan karena tanah deretan tersebut merupakan tanah milik negara. Datanglah Muara Karta SH ini kepada almarhum suami Delina, sambil menunjukkan bahwa ini sebetulnya ada masalah. Ketika terjadi penggusuran dahulu, ada sebuah perjanjian dengan perwakilan warga. Perjanjian tersebut menyatakan bahwa apabila penggusuran ini sukses, ke enam perwakilan ini akan mendapatkan tanah sisa atau selisih dari yang ada. Diperhitungkan sekitar 100 M2. Selesai penggusuran, muncullah sertifikat pada tahun 1996. Keenam perwakilan warga tadi tidak juga mendapat janjinya, akhirnya mereka menguasai tanah kosong yang semula akan digusur, namun tidak jadi. Kemudian mereka membuat pernyataan dan pemberitahuan kepada RT, bahwa tanah kosong ini akan dipakai oleh mereka hingga yang dijanjikan oleh Johni Lantang dipenuhi. Keenam orang tersebut kemudian menguasakan masalah ini kepada Muara Karta SH. Delina kemudian membayar kepada enam orang itu tanah kosong tersebut dan membuat bangunan diatasnya pada 2002. Menurutnya, transaksinya dengan keenam warga tersebut sah dan aman. Pada 2005, muncul somasi kepada dirinya agar mengosongkan tanah dan bangunan di lokasi tersebut. Sebuah pengumuman ditempel didinding bangunannya. Rupanya telah terjadi jual beli antara Johny Lantang dengan Lei Cok Kwan. Menurut Delina, JL tidak memenuhi kewajibannya kepada enam warga yang dijanjikan tersebut dan justru menjual tanah itu kepada pihak lain, LCK. Delina bisa mengetahui adanya sertifikat kedua ini setelah ada pemutusan aliran Listrik oleh PLN. Saat itu PLN memutus aliran listrik dengan mengunjukkan copy sertifikat kepada Delina. Delina sempat melakukan perlawanan kepada PLN dengan menyatakan tindakan PLN tersebut tidak sah dan justru melanggar aturan. Karena Listrik di kedua ruko tersebut telah ada sejak 1985 dan 2004. Sementara transaksi jual beli antara JL dengan LCK baru dilakukan pada 2005. Pada 10 Mei 2018, JS bermaksud melakukan pengosongan bangunan, namun urung. Esok harinya, Delina melaporkan masalah ini kepada Polres Jakarta Timur. Disaat yang sama, beberapa orang yang diduga sebagai suruhan JS melakukan pembobolan di rukonya. Delina kemudian melaporkan peristiwa ini kepada Polsek setempat. Sayangnya, Delina merasa Kapolsek melakukan pengabaian, meskipun tahu bahwa JS melakukan tindakan ancaman kepada dirinya. Kapolsek dianggap membiarkan tindakan persekusi yang dilakukan oleh sejumlah orang-orang yang diduga sebagai suruhan oleh JS. Mengeluarkan paksa dan menjarah barang-barang Delina hingga menimbulkan kerugian. Menurut penuturan Delina, Kapolsek tidak mengakui surat perjanjian dan SPT atas nama Delina sebagai bukti kepemilikan lahan dan bangunan tersebut. Padahal surat perjanjian tersebut dibuat diatas kertas bersegel dan diketahui oleh Lurah setempat. Bahkan telah terbit SPT atas nama Delina bagi lahan dan bangunan tersebut. Delina juga sudah melakukan klarifikasi kepada Polda saat memenuhi panggilan penyidik, atas kepemilikan tanah dan bangunan tersebut. Delina saat ini ia tengah memperjuangkan haknya dari pihak lain yang ingin merebunya. Dasar Delina mempertahankan haknya karena ia memiliki surat perjanjian hak guna bangunan dan bukti pembayaran SPPT atas namanya. Menurut Delina, kedua surat ini semestinya memiliki kekuatan hukum untuk menjadi pertimbangan kepolisian menyikapi kasusnya. Surat perjanjian dibuat diatas kertas bersegel dengan diketahui oleh Lurah, sementara SPPT dikeluarkan oleh Kantor Pajak. Menurut pengakuan Delina, ada yang ganjil dengan sertifikat yang ditunjukkan kepada para penasehat hukumnya. Dalam sertifikat tersebut, tanah di No.57 dan 59 menjadi satu, sehingga luasnya 100 m2. Padahal kedua bidang terpisah. Mengenai tindakan penjarahan ini, Verianto Pilemon, salah satu pengacara dari Kantor Pengacara Sabar Ompu Sunggu, menyatakan telah melaporkan kejadian tersebut kepada Polres Jakarta Timur. Verianto menyayangkan tindakan premanisme yang dialami kliennya. Dalam laporannya, para penjarah ini disangkakan melanggar pasal 170 KUHP. Pasal 170 KUHP ayat 1 menyatakan “ Barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan”. Menurut Verianto, hingga keputusan pengadilan berkekuatan tetap, maka tidak bisa melakukan pengeluaran barang secara paksa. Ditambahkan olehnya bahwa tindakan premanisme ini sudah mengarah kepada terorisme pada kliennya. Verianto menyatakan bahwa mereka akan meminta laporan kliennya bisa segera dibawa ketingkat peradilan. “Kami akan mendorong laporan tersebut hingga ke tingkat pengadilan agar proses ini cepat selesai dan mendapatkan pengadilan yang adil dari pihak pengadilan, ” pungkasnya. (Red)

BERITA TERKAIT