test

Opini

Senin, 26 November 2018 13:42 WIB

PMJNews Media Kredibel Untuk Menangkal Hoax Yang Semakin Akut

Editor: Redaksi

Ketua Dewan Pers RI, Yosep Adi Prasetyo. (Foto : Ist)
Oleh: Yosep Adi Prasetyo, Ketua Dewan Pers RI Polda Metro Jaya News (PMJ News.com) diluncurkan secara resmi oleh Kapolda Metro Jaya  Irjen Pol Idham Azis di Polda Metro Jaya pada Kamis, 15 November 2018 lalu. Sejumlah kalangan memberikan apresiasi kepada Kabidhumas Polda Metro Jaya Kombes Pol Raden Prabowo Argo Yuwono atas upaya membangun aplikasi media informasi berbasis android ini. Aplikasi bisa diunduh di smartphone yang tentunya juga berbasis kerja android. Berbeda dengan aplikasi Humas Metro yang lebih fokus memberitakan hal-hal yang terkait kejadian di lingkungan Polda Metro yang perlu disampikan oleh pihak Humas, PMJ News.com tampil lebih sebagai kemasan berita. Sebagai sebuah awalan, pengelola PMJ News.com membagi isi dalam beberapa rubrikasi antara lain news, hukum-kriminal, politik, hiburan, fokus, olahraga, dan kesehatan. Ini menarik dan tentu saja membutuhkan tantangan. Karena di satu sisi ada kepentingan kehumasan, di sisi lain dituntut bisa tampil bersaing sebagai berita profesional. Pengelola dan awak PMJ News.com berangkali perlu memikirkan apakah media ini memang akan mengarah kepada model media profesional yang ada di bawah payung badan hukum Perseroan Terbatas sebagai persyaratan dalam Undang-Undang 40 Tahun 1999 tentang pers. Atau ya tetap menjadi bagian dari media kehumasan Polda Metro. Tentunya hal-hal positif dan negatifnya harus ditimbang lagi. Namun apresiasi tinggi tetap harus diberikan kepada PMJ News.com. Kehadirannya dapat ikut memerangi peredaran hoax. Umumnya ketika tensi politik sedang meninggi, misalnya menjelang Premilu 2019, hoax akan meningkat drastis. Kita bisa melihat hampir 4 tahun terakhir ini di Indonesia bermunculan berita hoax. Saat menjelang Pilkada, kemunculan  hoax meningkat.  Berita hoax ini bukan semata memuat kobohongan, tapi juga menebar kebencian, prasangka, SARA, fitnah, dan juga ketidakpercayaan kepada badan-badan publik. Seorang jurnalis, Curtis D McDougall menyatakan bahan hoax adalah kepalsuan yang sengaja dibuat untuk menyaru sebagai kebenaran. Ada banyak berita hoax yang diproduksi oleh situs-situs yang mengaku sebagai situs berita yang terkadang namanya mirip dengan situs resmi tersebut, dikutip serta disebarluaskan melalui berbagai media sosial. Masyarakat sulit untuk membedakan mana berita yang benar dan mana berita hoax. Media sosial yang tadinya berfungsi untuk merawat silahturahmi, mengupdate status, atau menshare kenangan lama kini berubah menjadi ajang untuk menyampaikan sikap politik, keberpihakan, kebencian, dan permusuhan. Yang rawan adalah ada semacam simbiosis mutualistis dimana ada banyak wartawan menggunakan sumber media sosial untuk mendapatkan ide dan mengembangkan berita, sedangkan media sosial menindaklanjuti berita-berita media yang sebelumnya bersumber dari info di media sosial untuk disebarluaskan. Dengan demikian munculnya efek viral yang luas dan menimbulkan pro-kontra sebuah masalah yang sebetulnya bersumber dari berita hoax yang tak jelas ujung-pangkalnya. Bila ditelusuri lebih lanjut, informasi dan berita hoax mulai marak di Indonesia saat menjelang Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden pada 2014 lalu. Saat itu ada banyak berita rekayasa. Hal ini juga hilangnya kepercayaan publik atas sejumlah berita media diakibatkan sejumlah pemilik media membuat partai atau masuk partai dan menggunakan medianya untuk berkampanye. Selain itu ada sejumlah partai membuat media baru untuk kepentingan kampanye dan mendulang dukungan suara. Kondisi ini juga diperkuat dengan banyaknya wartawan yang jadi caleg atau sekadar jadi joki politik, atau merangkap profesi dengan menjadi tim sukses. Pada saat yang sama para politisi berupaya menarik-narik wartawan dan melakukan kunjungan ke redaksi atau kantor organisasi wartawan dengan alasan untuk sosialisasi atau sekadar silahturahmi. Independensi ruang redaksi mengalami peregangan akibat tarik-ulur kepentingan antara politik, upaya meraup kue iklan kampanye, dan juga pertarungan ideologi. Ada banyak liputan yang sebetulnya berselubung iklan. Mulai dari liputan event, wawancara, hingga penulisan profil. Hampir semua platform media, baik media cetak, media siber, televisi maupun radio melakukannya. Publik pun kehilangan kepercayaan terhadap netralitas pers dan kebenaran isi media, termasuk media nasional yang merupakan media arus utama. Pada saat informasi maupun berita media arus utama tak bisa dipercaya inilah media sosial menjadi sumber informasi alternatif bagi publik. Media sosial semacam Twitter dan Facebook yang awal mulanya diciptakan untuk keperluan membuat update status personal atau menemukan kembali teman-teman lama, berubah menjadi sarana seseorang menyampaikan pendapat politik atau mengomentari pendirian orang lain. Media sosial berubah fungsi menjadi ajang orang bertikai. Belakangan masyarakat menemukan percakapan dalam grup media sosial semacam grup Whatsapp (WAG) menjadi sarana yang cocok. Dalam grup-grup di media sosial umumnya para anggota grup mengenal satu sama lain dan mula-mula orang saling percaya dan membagikan setiap info yang dimiliki masing-masing. Info ini akan terus dikirim ulang oleh orang yang menerimanya dan dipertukarkan tanpa mempersoalkan dari mana asal maupun kebenaran info yang diforward tersebut. Hal inilah awal muasal munculnya efek viral dari berita-berita hoax. Ada kemungkinan berita terkait sebuah isu berasal dari media sosial, kemudian dikutip oleh media online, dan kemudian karena banyak dibicarakan orang maka media TV dan media cetak arus utama mengangkat isu tersebut. Efek viral yang muncul menciptakan kebenaran palsu. Fenomena berita hoax bukannya melemah justru kian menguat, apalagi diperkuat dengan munculnya media buzzer dan pasukan siber (cyber troops) yang dibentuk para tim sukses, baik individu maupun partai politik. Berita hoax menemukan kombinasi yang canggih, sekaligus jahat, saat sejumlah orang sengaja membuat akun-akun palsu atau sengaja membuat media abal-abal untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dari maraknya berita hoax. Berita hoax yang belakangan muncul ini telah mencapai taraf yang cukup menguatirkan. Terutama karena berita hoax yang beredar telah bercampur dengan ujaran kebencian, prasangka suku-agama-ras-antargolongan (SARA), paham radikalisme, dan ajakan melakukan aksi kekerasan. Tentu saja hal ini tak boleh dibiarkan terus terjadi karena yang paling dirugikan adalah hak publik atas informasi yang benar. Otoritas kebenaran faktual harus dikembalikan kepada media arus utama yang terverifikasi di Dewan Pers. Nilai-nilai luhur profesi jurnalis harus dikembalikan kepada wartawan yang memiliki kompetensi dan mengikatkan diri pada nilai-nilai dan etik profesi. Hoax dan praktek abal-abalisme dalam jurnalistik harus kita perangi bersama. Namun upaya menangkal penyebaran informasi atau berita palsu alias hoax memang butuh dukungan semua pihak, tidak hanya dapat dilakukan oleh pemerintah saja. Peran masyarakat sipil, terutama media, sangat diperlukan untuk melawan hoax yang semakin menjadi epidemi di Indonesia saat ini. Di sinilah kehadiran PMJ News.com menjadi signifikan. PMJ News.com harus bisa menjadi semacam clearing house, tempat semua anggota masyarakat menjadi rujukan informasi yang tepat dan kredibel. Untuk itu jajaran redaksi PMJ News.com dituntut untuk selalu bekerja keras guna memperoleh kepercayaan publik.      

BERITA TERKAIT