test

Opini

Selasa, 13 Agustus 2019 12:57 WIB

Pemprov DKI Tak Punya Kewenangan Tutup Jalan Buat PKL di Tanah Abang

Editor: Redaksi

Anggota DPRD DKI Jakarta Terpilih Periode 2019 - 2024 dari PSI, William Aditya Sarana. (Foto: PMJ News).
PMJ - Gubernur DKI Jakarta sebelumnya telah berhasil menertibkan PKL-PKL di Tanah Abang sehingga kawasan Tanah Abang jadi tempat yang lebih tertib dan rapih. Namun, kembali lagi dihancurkan oleh Gubernur Anies Baswedan dengan menutup jalan Jati Baru di Tanah Abang untuk PKL berjualan. Anggota DPRD DKI Jakarta Terpilih Periode 2019 - 2024 dari PSI, William Aditya Sarana, menjelaskan kewenangan menutup jalanan untuk tempat berdagang berasal dari Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum 25 ayat (1) yang berbunyi: “Gubernur menunjuk/menetapkan bagian-bagian jalan/trotoar dan tempat-tempat kepentingan umum lainnya sebagai tempat usaha pedagang kaki lima.” Menurutnya, hal itu berarti, setiap jalan dan trotoar di DKI Jakarta bisa ditutup buat tempat jualan sama Gubernur DKI Jakarta. “Bayangkan saja, saat ini orang berjualan secara tidak tertib di jalanan yang dilarang, apalagi ada kewenangan ini, bisa tambah kacau dan hancur jalanan dan trotar di DKI Jakarta,” tutur William, kepada PMJ News, di Jakarta, Selasa (13/08/2019). [caption id="attachment_37079" align="aligncenter" width="678"] Surat dari Mahkamah Agung. (Foto: PMJ News)[/caption] Akibat penutupan jalan di Jati Baru tersebut, mulai dari pejalan kaki sampai kendaraan umum dirugikan. Namun, apakah jalanan sebenarnya bisa ditutup? “Bisa. Diatur di peraturan yang lebih tinggi dari Perda yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada ayat 127 Ayat (1) dijelaskan bahwa jalan bisa ditutup karena alasan: 1. Kegiataan keagamaan; 2. Kegiataan kenegaraan; 3. Kegiatan olahraga; 4. Kegiatan budaya,” jelasnya. “Tapi ga bisa buat kegiatan berdagang! Inilah yang menjadi dasar saya melawan Gubernur DKI Jakarta dengan membenturkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum,” urainya melanjutkan. Masih dari penuturan William, Perda tidak boleh mengatur hal yang di luar dari peraturan yang lebih tinggi yakni Undang-Undang dan ketika Perda mengatur lebih dari Undang-Undang artinya Perda tersebut bertentangan dan harus cabut! “Gugatan saya akhirnya dikabulkan dengan amar putusan sebagai berikut: 1. Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materil dari Para Pemohon: 1. William Aditya Sarana, 2. Zico Leonard Djagardo tersebut sebagian,” ujarnya menambahkan. 2.Menyatakan Pasal 25 ayat (1), Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum bertentangan dengan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum; 3. Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan salinan putusan ini kepada Sekretariat Daerah untuk dicantumkan dalam Berita Daerah; 4. Menolak Permohonan Para Pemohon yang lain dan selebihnya; 5. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) Ia melanjutkan, hal itu berarti sekarang Gubernur DKI Jakarta tidak hanya harus menertibkan PKL di jalanan Jati Baru tapi di seluruh DKI Jakarta karena kewenanganya untuk menutup jalan untuk berdagang sudah tidak ada. “Tidak boleh ada lagi preman-preman yang sok-sok an ngambikin duit ke PKL di jalan. Jadikan putusan ini sebagai preseden untuk DKI Jakarta membuat Jakarta lebih rapih dan tertib.Indonesia negara hukum bukan negara preman,” tegasnya. “Jika dalam waktu dekat putusan Mahkamah Agung tidak eksekusi oleh Gubernur DKI Jakarta akan saya gugat kembali karena sudah menghina pengadilan,” pungkasnya. (FER).

BERITA TERKAIT